GREEN JUSTICE INDONESIA GREEN JUSTICE INDONESIA
  • HOME
  • ABOUT US
  • PUBLICATION
    • NEWS & MEDIA
    • ARTICLE
    • LIBRARY
  • EVENTS & ACTIVITIES
  • CONTACT US
Dalam Konferensi Masyarakat Adat Asia ke-5, Devi menegaskan bahwa keanekaragaman hayati, pangan, sungai, hingga benih lokal bukan sekadar isu lingkungan—tetapi bagian dari hidup perempuan adat itu sendiri.
  • September 26, 2025
  • gjimedan
  • 0 Comments
  • 45 Views
  • 0 Likes
  • NEWS & MEDIA

Jejak Perjuangan Perempuan Adat Melawan Korporasi dan Solidaritas Internasional

MEDAN, GJI.or.id – Konferensi Masyarakat Adat Asia yang kelima memilih tema yang sangat khusus untuk merayakan kekuatan dan kepemimpinan perempuan adat di dalam mempertahankan keanekaragaman hayati, menghadapi perubahan iklim, dan polusi yang makin mengancam kehidupan kota hingga kampung.

Ketua Umum Persekutuan Perempuan Adat Nusantara (Perempuan AMAN), Devi Anggraini mengatakan, kegiatan ini melibatkan 157 orang yang mayoritas merupakan perempuan adat. Pertemuan ini merupakan ruang besar bagi perempuan adat untuk merefleksikan dirinya, berbagi satu dengan yang lain, saling belajar dan menginspirasi.

“Kenapa kemudian Perempuan AMAN memilih menempatkan konferensi ini di Tano Batak, karena di sini lah tempat di mana perjuangan yang dipimpin oleh perempuan adat dimulai, yaitu di Ria-ria,” katanya.

Desa Ria-ria berada di Kecamatan Pollung yang saat ini bagian dari Kabupaten Humbang Hasundutan. Dulunya masih bagian dari Kabupaten Tapanuli Utara. Di akhir tahun 1970an setidaknya ada 10 perempuan adat Batak yang memperjuangkan lahan sawahnya yang dirampas konsesi perusahaan.

Sawah bagi masyarakat adat bukan hanya sumber pangan tetapi juga pusat kehidupan sosial. Perempuan adat Batak memainkan peran penting di kampung melalui sawah, yang menjadi ruang tawar menawar dalam pengambilan keputusan karena erat dengan identitas dan peran mereka.

“Tapi memang perjuangan ini sebenarnya adalah perjuangan mengenai wilayah adat,” katanya.

Dalam aksi itu, sejumlah laki-laki ditangkap polisi dan para perempuan adat di kampung segera bergerak ke kantor polisi dan menuntut agar suami mereka dibebaskan. Satu kemenangan berhasil diraih, meski sebelumnya banyak kekalahan yang dialami. Namun, kekalahan itu tidak pernah menyurutkan langkah perjuangan.

Satu dari 10 perempuan adat itu bernama Nai Sinta boru Sibarani mengambil peran kepemimpinan dengan melakukan aksi lebih berani. Ia datang ke Jakarta dan bertahan selama sepuluh hari untuk memperjuangkan agar tanah adat bisa dikembalikan. Pada hari ke-10, kemenangan diperoleh, dan Nai Sinta pulang membawa kabar baik tersebut.

“Ini satu inspirasi yang menurut saya penting dilihat, dan kemudian bagaimana ini ditularkan semangatnya kepada perempuan adat lainnya. Nah, Tano Bata, ini kan konflik yang sudah sangat panjang. Tadi 1970-1980an, banyak sekali kita kehilangan tanah adat,” katanya.

Baca juga: Konferensi Masyarakat Adat Asia di Samosir

Tanah-tanah adat yang dahulu menjadi ruang hidup kini banyak berubah menjadi konsesi dan ditanami eukaliptus. Bersamaan dengan itu, masyarakat adat kehilangan sungai, mata air bersih, hutan, bahkan tempat-tempat sakral. Mereka dipatahkan, dikalahkan, dihancurkan, bahkan menghadapi kematian, tetapi tidak pernah sekalipun mundur.

Dari proses panjang itu, muncul banyak pemimpin perempuan adat di kampung-kampung. Mereka terus mengorganisir, melakukan berbagai bentuk perlawanan, menanam kembali meski tanaman berulang kali dihancurkan, serta mulai memikirkan cara melindungi wilayah adat dan sungai.

Bersama komunitasnya, mereka membangun posko-posko di kampung yang setiap hari dijaga oleh perempuan adat bersama anak-anak mereka. Inilah wujud semangat dan kekuatan kepemimpinan perempuan adat di Tanah Batak. Tanpa keteguhan itu, perjuangan mungkin sudah lama berhenti.

“Karena itu, proses ini layak dirayakan dan mendapat apresiasi besar—kepada tangan-tangan perempuan adat yang menaruh jiwa dan hatinya dalam menjaga wilayah serta kehidupan masyarakat,” katanya.

Pengalaman tersebut yang ingin dibagikan kepada seluruh peserta konferensi, dengan harapan dapat menjadi refleksi bersama untuk belajar langkah-langkah yang perlu ditempuh agar perjuangan terus konsisten hingga mencapai tujuan. Devi menambahkan, saat konferensi dimulai, kampung Sihaporas justru mendapat serangan dari TPL.

“Saya memantau dan berkomunikasi dengan kawan-kawan perempuan adat di Sihaporas, mereka bilang kami tidak akan mundur. Kami maju terus, kami akan pertahankan hidup kami, tanah kami, jiwa kami. Jadi ini yang menurut saya proses belajar yang besar,” katanya.

Dalam konferensi ini, lanjut Devi, ketika membicarakan keanekaragaman hayati, sesungguhnya sedang membicarakan sesuatu yang melekat erat pada kehidupan perempuan adat. Pangan, misalnya, dirawat dengan tangan perempuan; sungai paling banyak digunakan oleh perempuan; begitu juga mata air.

Karena itu, bagi perempuan adat, keanekaragaman hayati bukan sekadar isu lingkungan, melainkan menyangkut hidup dan jiwa mereka sendiri. Bahasa memang menjadi tantangan karena peserta berasal dari 15 negara, namun tidak ada yang mengeluh. Semua tetap ingin terlibat penuh dalam diskusi.

“Bahkan pada waktu istirahat mereka harus diingatkan untuk berhenti sejenak, karena masih ingin melanjutkan pembahasan,” katanya.

Dijelaskannya, banyak pengalaman dari kampung yang menunjukkan upaya perempuan adat dalam mempertahankan keanekaragaman hayati dan mencegah polusi. Salah satu yang menarik adalah cara mereka melindungi benih lokal yang mulai terdesak oleh benih unggul dari luar.

Dengan menjaga dan memproteksi benih-benih itu, perempuan adat juga mempertahankan pengetahuan yang diwariskan leluhur. Namun, persoalan ini tidak terlepas dari tata kelola, yang berada di tangan negara dan pemerintah. “Bahwa segala persoalan ini kan juga tidak lepas dari tata kelola dan tata kelola ini ada di tangan negara, pemerintah,” ujarnya.

Bagi Perempuan AMAN, kerja dilakukan pada dua sisi. Di satu sisi, menyadari bahwa tidak semua tatanan adat ideal. Ada norma dan aturan yang juga perlu dikoreksi, misalnya sulitnya perempuan memiliki hak atas tanah. Karena itu, penting membuka ruang diskusi tentang peran-peran perempuan adat yang kuat, dan menempatkannya pada ruang pengambilan keputusan yang lebih adil.

Di banyak komunitas adat, perempuan masih sulit memiliki hak kepemilikan atas tanah. Proses inilah yang coba dikoreksi melalui pembicaraan tentang peran perempuan adat dan ruang-ruang penting di mana mereka berkontribusi. Contohnya, sawah. Perempuan memiliki peran besar dalam mengelola sawah, ruang ini disebut sebagai wilayah kelola perempuan.

“Di sanalah pengetahuan perempuan adat dipraktikkan: bagaimana pengaturan dilakukan, bagaimana produksi pangan diatur, dan bagaimana kehidupan kampung dijaga,” katanya.

Hutan pun demikian. Kepentingan laki-laki terhadap hutan sering berbeda dengan perempuan. Laki-laki mungkin lebih berhubungan dengan kayu atau lahan, sementara perempuan memanfaatkan hutan untuk memanen sayuran, mengambil bahan obat-obatan, atau mencari bahan anyaman.

Baca juga: Bentrok di Sihaporas: AMAN Tano Batak Kecam Kekerasan, AIPP Soroti Akar Konflik dari Kebijakan Sepihak

“Artinya, meskipun berada di ruang yang sama, peran dan pengetahuan perempuan adat di hutan berbeda dan khas,” ujarnya.

Kemudian, otoritas untuk bisa mengatur bagaimana pemanfaatannya itu juga berbeda. Hal ini yang menurutnya harus didorong ke dalam komunitas sendiri untuk ada pengakuannya, dan diberikan dengan kuat kepada perempuan, didengarkan suaranya dan kepentingannya.

“Kan cenderung ketika perempuan membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan sehari-hari, dianggap sebagai bukan sesuatu yang politis,” katanya.

Padahal, lanjut Devi, yang memastikan perjuangan di Tano Batak bisa berlangsung sampai saat ini, itu justru karena logistiknya tidak pernah bisa diancam oleh pihak-pihak luar. Masyarakat masih hidup dari tanah sendiri, karena itulah perjuangan ini masih terus berjalan. Dan itu tangan perempuan yang merawatnya, hatinya dan jiwanya di sini.

“Jadi itu satu hal yang menurut saya perlu dikoreksi. Kepada negara sebenarnya, kami melihat ada upaya untuk bisa melakukan misalnya pendaftaran tanah yang kemudian bisa mencantumkan dua nama. Tapi apakah ini cukup? Tidak,” katanya.

Devi menjelaskan, karena pengakuan atas wilayah adat belum tersedia ruangnya. Tidak banyak wilayah adat yang diakui. Dengan cara itu sebenarnya tetap saja perempuan akan tersingkir. Pihaknya ingin mendorong satu perubahan sehingga ada kehidupan yang lebih setara. Dari sisi yang lain, pihaknya mendorong pengakuan kepada masyarakat adat.

“Satu hal yang penting, di dalam konferensi ini, selain sebagai ruang berbagi, belajar, tapi juga membangun inspirasi. Sehingga diharapkan ketika kembali ke kampung, proses ini juga dilakukan oleh perempuan adat kepada perempuan adat di kampung. Perkuat solidaritas,” katanya.

Selain itu, lanjutnya, membangun rasa senasib sepenanggungannya, sangat dekat. “Misalnya oh ternyata  di Jepang, mengalami hal yang sama seperti kami. Di Taiwan juga sama dan di banyak negara di region Asia ini masyarakat adatnya paling besar jumlahnya. Jadi kita akan bisa belajar satu sama lain. Membangun solidaritas itu membuat kita menjadi sangat dekat,” katanya.

Dijelaskannya, saat ini komunikasinya sudah mulai terbangun di antara peserta konferensi. Perempuan adat di Asia saat ini sudah memiliki payung organisasi untuk perempuan adat, namanya Network of Indigenous Women in Asia (NIWA). NIWA sendiri akan secara terus-menerus memfasilitasi perempuan adat dari berbagai negara.

Di Indonesia Perempuan AMAN itu juga menjadi satu payung organisasi bagi perempuan adat untuk bisa menyampaikan kepentingannya melalui organisasi ini dan menyuarakannya di berbagai ruang. Tapi yang paling penting, seluruh proses yang sedang kita lakukan sekarang harus kembali ke kampung.

“Karena realitas hidup kita ada di kampung. Apa dari proses yang selama lima hari ini kita ikuti, kita petik pembelajarannya dan apa yang bisa kita gunakan pada tingkat kampung. Menemukan rute-rute baru untuk bisa mengadvokasi hak kita dan kepentingan kita sebagai perempuan adat,” katanya

Tags:
AMAN Tano BatakDevi AnggrainiKonferensi Masyarakat Adat AsiaPerempuan AMANRia-riaSamosir
Prev PostCerita Perempuan Adat Simardangiang di Forum Internasional
Next PostGreen Justice Indonesia Dukung Perempuan Adat Simardangiang di Forum Internasional
Related Posts
  • Green Justice Indonesia Dukung Perempuan Adat Simardangiang di Forum Internasional September 27, 2025
  • Cerita Perempuan Adat Simardangiang di Forum Internasional September 25, 2025

Leave a Comment Cancel Comment

You must be logged in to post a comment.

greenjusticenow@gmail.com Drop Us a Line
(061) 80471297 Call Us Now
Jl. Bunga Terompet V No.25, Padang Bulan Selayang II, Kec. Medan Selayang, Kota Medan, Sumatera Utara 20132 Get Direction
copyright © www.gji.or.id 2022