
Green Justice Indonesia Dukung Perempuan Adat Simardangiang di Forum Internasional
SAMOSIR, GJI.or.id – Direktur Green Justice Indonesia (GJI), Panut Hadisiswoyo, menegaskan komitmen pihaknya mendukung masyarakat hukum adat Simardangiang dalam forum internasional masyarakat adat Asia yang baru-baru ini digelar di Samosir. Acara itu diselenggarakan Asian Indigenous People Pact (AIPP) bersama Perempuan AMAN, sebagai refleksi gerakan masyarakat adat dalam pelestarian ekosistem, keanekaragaman hayati, serta perjuangan keadilan iklim.
Dalam kegiatan itu, masyarakat adat Simardangiang menampilkan berbagai inisiatif, termasuk proses pembuatan produk kemenyan berupa parfum dan minyak kemenyan. Komoditas unggulan ini berasal dari hutan adat seluas 2.917 hektare yang diakui oleh Kementerian Kehutanan RI.
“Partisipasi aktif perempuan adat Simardangiang dalam forum ini sangat penting, karena mereka kini menjadi bagian dari gerakan masyarakat adat se-Asia. Mereka mendapatkan akses informasi, peluang berkomunikasi, serta ruang menyampaikan gagasan dan aspirasi terkait perjuangan mempertahankan hutan adat,” ujar Panut.
Ia menekankan peran perempuan adat sangat sentral dalam pelestarian dan perlindungan hutan kemenyan, yang merupakan bagian penting dari ekosistem Batang Toru, Blok Barat. Lebih jauh, Panut mengungkapkan langkah berikutnya adalah menjadikan perempuan adat Simardangiang sebagai bagian dari jaringan Perempuan AMAN, agar perjuangan mereka dalam mengelola hutan adat semakin kuat dan mendapatkan dukungan yang lebih luas.
Baca juga: Jejak Perjuangan Perempuan Adat Melawan Korporasi dan Solidaritas Internasional
Diberitakan sebelumnya, Ketua Persekutuan Perempuan Adat Nusantara AMAN (Perempuan AMAN), Devi Anggraini mengatakan, kegiatan ini bertema “Merayakan dan Memajukan Kekuatan serta Kepemimpinan Perempuan Adat”. Kegiatan ini kerjasama antara Perempuan AMAN dengan Indigenous Women Programme Asia Indigenous Peoples Pact (AIPP). Perempuan AMAN merupakan organisasi berbasis anggota individu perempuan adat yang dideklarasikan pada 16 April 2012 di Tobelo, Halmahera Utara, Maluku Utara.
Organisasi ini menjadi wadah bagi perempuan adat untuk mengkonsolidasikan diri sekaligus menyuarakan kepentingannya di ruang publik dengan anggota sebanyak 4.917 individu perempuan adat. Perempuan adat itu terkonsolidasi dalam 118 Wilayah Pengorganisasian (WP), tersebar di tujuh region: Sumatera, Jawa, Bali-Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan Papua.
Dalam konferensi ini, lanjut Devi, ketika membicarakan keanekaragaman hayati, sesungguhnya sedang membicarakan sesuatu yang melekat erat pada kehidupan perempuan adat. Pangan, misalnya, dirawat dengan tangan perempuan; sungai paling banyak digunakan oleh perempuan; begitu juga mata air. Karena itu, bagi perempuan adat, keanekaragaman hayati bukan sekadar isu lingkungan, melainkan menyangkut hidup dan jiwa mereka sendiri.
Perwakilan Asia Tenggara di Dewan Eksekutif AIPP, Abdon Nababan mengatakan, konferensi ini untuk memperkuat kekuatan dan kepemimpinan perempuan adat. Melibatkan 15 negara yang tergabung dalam AIPP. Dikatakannya , kegiatan ini rutin dilakukan setiap tahun namun kali ini fokus pada peran perempuan adat dalam melindungi lingkungan dan budaya.
Pertemuan ini akan menghasilkan sejumlah rekomendasi untuk perlindungan internasional, terutama terkait perubahan iklim, keanekaragaman hayati, dan pembangunan berkelanjutan.
“Pertama adalah bagaimana untuk memperkuat pengetahuan perempuan hadap dalam pengelolaan alam. Yang ada kaitannya nanti sebagai solusi bagi penyelamatan lingkungan, dan juga penyelamatan kebudayaan di seluruh Asia,” ujarnya.
Perempuan Adat di Garis Depan Perjuangan
Abdon menegaskan, konferensi ini menegaskan perempuan sudah terbukti dan teruji menjadi penopang bagi masyarakatnya. Dan karena itu mereka memang selalu di garis depan dalam perjuangan kepentingan hak-hak masyarakat adat. “Jadi mereka sama sekali tidak boleh didiskriminasi di dalam proses-proses yang berkaitan dengan kebijakan publik,” jelasnya.
Dikatakannya, pertemuan kali ini lebih fokus pada penerjemahan deklarasi yang dilakukan pada pertemuan sebelumnya menjadi aksi nyata. Pertemuan kali ini cukup panjang, karena mau menerjemahkan itu menjadi tindakan-tindakan. Baik di komunitas masing-masing, di negara masing-masing yang 15 negara ini, dan juga untuk diperjuangkan di perundingan-perundingan internasional berkaitan dengan tiga isu; perubahan iklim, keanekaragaman hayati, dan sustainable development.
“Jadi tidak sekedar teks, tapi menerjemahkannya menjadi tindakan,” ungkapnya.
Leave a Comment
You must be logged in to post a comment.