Melindungi Hutan Melalui Pemanfaatan HHBK Secara Berkelanjutan
MEDAN, GJI.or.id – Green Justice Indonesia (GJI) mendorong strategi perlindungan hutan secara berkelanjutan. Salah satunya dengan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu yang selama ini dinilai belum optimal.
Direktur GJI, Panut Hadisiswoyo mengatakannya saat Seminar Nasional Optimalisasi Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Secara Berkelanjutan yang diselenggarakan Green Justice Indonesia (GJI) bekerjasama dengan Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara pada Senin (15/9/2025).
Dijelaskannya, kegiatan ini menjadi ruang diskusi lintas pihak untuk menggali potensi hasil hutan bukan kayu yang dinilai belum dikelola secara optimal, sekaligus mendorong strategi perlindungan hutan berkelanjutan.
Menurutnya, hutan tidak hanya bernilai dari kayu, tetapi juga menyimpan potensi besar dari hasil hutan bukan kayu. Potensi itu mencakup sumber pangan, obat-obatan, hingga bahan kosmetik yang bisa dikelola tanpa merusak ekosistem.
Menurutnya, jika pemanfaatannya hanya pada eksploitasi kayu demi keuntungan sesaat, ada konsekuensinya besar yakni deforestasi, perubahan iklim, dan bencana. Padahal, hutan menyimpan potensi luar biasa dari sisi non-kayu. “Misalnya getah damar, kemenyan, obat-obatan, dan sumber pangan. Semua itu bisa dikelola lestari,” katanya.
Baca juga: Menggali Nilai Ekonomi Hasil Hutan Bukan Kayu untuk Masa Depan Berkelanjutan
Dia berharap seminar ini dapat mendorong perhatian publik dan pemerintah agar tidak hanya mengandalkan industri ekstraktif dalam pengelolaan hutan. Sumatera Utara memiliki kawasan hutan seluas 3 juta hektare. Dalam pemanfaatannya menurutnya masih harus dioptimalkan.
“Apakah pemanfaatannya optimal? Apakah kita hanya fokus pada pemanfaatan ekstraktif, eksplotatif gitu ya? Nah, bagaimana dengan nilai-nilai kandungan hutan yang sebenarnya bisa dimanfaatkan yang bisa melebihi nilai dari kayu, bisa melebihi nilai-nilai dari ekstraktif lainnya,” katanya.
Menurutnya, ada opsi pemanfaatan hutan yang secara lestari, yang tidak merusak ekosistem namun tidak dioptimalkan. “Sebenarnya itu sih yang menggagas kenapa GJI melaksanakan acara ini mengingat memang penting narasi-narasi ini diangkat kembali,” katanya.
Dicontohkannya, berbagai potensi hutan yang dapat dikelola secara berkelanjutan, salah satunya getah kemenyan yang kini sudah menjadi perhatian pemerintah pusat.
Masyarakat selama ini telah mengelola HHBK dan menjaga keutuhan ekosistem hutan, namun banyak yang belum mendapatkan pengakuan hukum, baik sebagai hutan desa maupun hutan adat.
Panut menambahkan, Presiden dan Wakil Presiden bahkan sudah menyinggung soal kemenyan. Namun, pengelolaan HHBK sering kali masih terbentur akses dan legalitas bagi masyarakat adat maupun desa hutan. “Masyarakat sebenarnya sudah mengelola hutan secara turun-temurun, menjaga ekosistem, dan menggantungkan hidup dari HHBK. Tapi banyak yang belum mendapat pengakuan resmi,” jelasnya.
Baca juga: Mendorong Ekonomi Tepi Hutan Lewat Produk Organik dan Hasil Hutan Bukan Kayu
Selain kemenyan, lanjut Panut, tenun ulos dengan pewarna alami dari hutan yang bisa bernilai sepuluh kali lipat dibanding pewarna sintetis. Demikian pula jamur hutan, eco-print, hingga berbagai produk turunan HHBK lain yang bisa menjadi sumber kesejahteraan masyarakat.
Sayangnya, kata Panut, pemerintah masih lebih memilih industri instan yang cepat menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD). “Padahal masyarakat juga butuh kesejahteraan jangka panjang, bukan hanya melihat sumber daya alam dikeruk habis-habisan,” tegasnya.
Ia menyebut regulasi sebenarnya sudah ada, salah satunya lewat skema perhutanan sosial dengan Rencana Kelola Perhutanan Sosial (RKPS) ataupun Rencana Usaha Perhutanan Sosial (RUPS) yang mencakup pengelolaan HHBK. Panut menilai, skema ini bisa menjadi jalan keluar untuk mendorong industri HHBK naik kelas dan memberi manfaat nyata.
“Kalau dikelola dengan baik, HHBK bisa jadi strategi pengelolaan hutan yang lestari sekaligus sumber ekonomi alternatif bagi masyarakat,” katanya.
Diberitakan sebelumnya, Green Justice Indonesia (GJI) bekerjasama dengan Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara pada Senin (15/9/2025) menggelar Seminar Nasional Optimalisasi Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Secara Berkelanjutan pada Senin (15/9/2025).
Narasumber yang hadirpada pada sesi pertama pagi hari yakni Direktur LESSOS, Purnomo yang menjelaskan tentang problem masyarakat tepi hutan mulai dari kerusakan lingkungan, keterbatasan akses permodalan, pasar, hingga informasi. Akademisi Liana Dwi Sri Hastuti yang mempresentasikan tentang potensi jamur, pangan, obat-obatan, dan kosmetik. Kemudian, Iwan Risnasari yang menyebut bahwa mindset masyarakat bahwa hasil hutan hanya kayu.
Pada sesi kedua, akademisi lainnya, Onrizal mengatakan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) dinilai mampu menjadi alternatif sumber penghidupan masyarakat sekaligus strategi menjaga kelestarian hutan. Hadir juga dua orang perwakilan masyarakat, Abdul Wahid Harahap, praktisi kopi yang mendampingi Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Permata Hijau di Desa Marancar Godang, LPHD Sugi Natama di Desa Sugi dan LPHD lainnya di Kecamatan Marancar, Tapanuli Selatan.
Dia berbagi tentang pengalaman dan pengetahuan pertanian organik untuk kopi. Kemudian Tampan Sitompul, Kepala Desa Simardangiang dan juga mewakili Masyarakat Hukum Adat Simardangiang, di Kecamatan Pahae Julu, Kabupaten Tapanuli Utara.


Leave a Comment
You must be logged in to post a comment.