
Elsaka Dorong Alternatif Perlindungan Ekosistem Batang Toru di Togabasir
TAPANULI TENGAH, GJI.or.id – Perlindungan kawasan ekosistem Batang Toru membutuhkan keterlibatan aktiv masyarakat. Salah satunya di Desa Togabasir, Kecamatan Pinangsori, Kabupaten Tapanuli Tengah, yang didampingi Lembaga Studi Advokasi dan Kebijakan (Elsaka).
Direktur Elsaka, Bekmi Silalahi mengatakan, Desa Togabasir berdekatan dengan kawasan ekosistem Batang Toru yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi, di antaranya orangutan tapanuli dan harimau sumatera.
Desa ini dihuni sekitar 600 kepala keluarga dari suku Batak dan Nias. Komoditas yang diusahakan oleh masyarakat di Desa Tobabasir adalah karet dan tanaman musiman seperti durian, manggis, langsat, dan jengkol.
Namun menurutnya, hasil dari karet dinilai belum mencukupi kebutuhan hidup masyarakat. “Dari lahan seluas tiga hektare, penghasilan mereka rata-rata hanya sekitar tiga juta rupiah setiap tiga minggu. Ini masih jauh dari syarat pemenuhan kebutuhan hidup,” ujar Bekmi.

Dengan potret tersebut, Elsaka mendorong pencarian alternatif penghidupan yang lebih berkelanjutan dengan budidaya palawija hijau dan uji coba komoditas baru seperti kopi robusta, yang dinilai lebih tahan dan memiliki nilai jual yang lebih baik.
Rencana ini diharapkan mampu mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap hasil hutan, terutama aktivitas pengambilan kayu.
“Mudah-mudahan, dalam kurun waktu dua hingga tiga tahun ke depan, Elsaka tetap bersama masyarakat Togabasir dalam memperkuat peran mereka dalamperlindungan ekosistem Batang Toru,” lanjutnya.
Tak hanya itu, hasil asesmen Elsaka menunjukkan bahwa Togabasir juga memiliki potensi pengembangan madu hutan. Ke depan, pendampingan akan difokuskan pada pelatihan dan penguatan kelompok masyarakat melalui pendekatan local champion yang akan mempromosikan penangkaran lebah hutan secara berkelanjutan.
Di sisi lain, masyarakat Togabasir sejatinya sudah memiliki kesadaran lokal untuk menjaga hutan. Mereka memahami larangan untuk masuk sembarangan ke dalam “hutan larangan” dan mengetahui adanya satwa-satwa yang tidak boleh diburu atau dibunuh.
Dalam istilah lokal, satwa seperti orangutan, simpai (imbo), dan owa (gibbon) kerap disebut sebagai “bodat”, baik besar maupun kecil.
“Mereka sudah lama tidak melakukan perburuan. Kalau pun mereka melakukan upaya pencegahan terhadap gangguan dari satwa, itu dalam rangka perlindungan tanaman buah mereka. Dengan cara memasang perangkap, tidak menembak atau memasang bunyi-bunyian untuk menakuti satwa tersebut supaya ketika musim durian itu tidak masuk atau menghabisi tanaman buah-buahan mereka,” ujarnya.
Leave a Comment
You must be logged in to post a comment.