
Kisah Kelompok Perempuan Mengelola Kopi di Desa Hutatinggi
TAPANULI UTARA, GJI.or.id – Desa ini tak mudah dijangkau. Terletak di Kecamatan Parmonangan, Kabupaten Tapanuli Utara, kopi menjadi komoditas utama. Uniknya, dikelola oleh para ibu rumah tangga yang mengambil alih peran berkebun dari suaminya.
Tepatnya di Dusun Golat, Desa Hutatinggi II. Cuaca siang hari begitu terik. Namun ketinggian lokasi membuat angin seringkali menyingkirkan panas. Cuma ada satu akses jalan aspal sedikit rusak, sempit. Hanya bisa dilalui 1 mobil. Curam, 2 jam dari Tarutung.
Tiba di sebuah rumah, sejumlah perempuan paruh baya menyusun ember, jerigen, rimpang, batang pisang dan lainnya. Di rumah itu, mereka akan berdiskusi tentang bagaimana agar tanaman kopi tumbuh dengan baik, produksi Blbanyak dan harga menguntungkan.
Ya, di rumah milik Ketua Kelompok Tani Marsiurupan, Carolina Taraja, itu lah praktisi dan pendamping petani kopi, Raja Banggas Rambe berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam ‘perkopian’. Diskusi itu diinisiai Green Justice Indonesia (GJI).

Carolina mengatakan, kurun lima tahun terakhir kondisi tanaman dan produksi kopi memprihatinkan jika dibandingkan dengan masa pertanian orangtuanya dulu. Saat ini, banyak tanaman yang terkena hama penyakit yang menyebabkan dahan, batangnya mati.
“Ulat, penggerek, daun keriting dan bijinya membusuk,” katanya.
Dia mengaku kini memiliki kebun kopi setengah hektare dengan jumlah sekitar 500 batang. Berbeda dengan masa orangtuanya dulu yang mengelola lebih dari 1 hektare per kepala keluarga. Alih-alih lebih luas, mengelola 500 batang saja sudah susah.
“Tanaman saya tidak saya beri pupuk kimia, dan hasil panen paling tinggi kemarin 4 liter, atau sekitar 4,8 ons,” katanya.
Carolina menambah, umumnya masyarakat menanam kopi dengan jarak berdekatan karena tanahnya tidak lagi subur dan jika ada tanaman yang mati, langsung ditanami kembali agar tidak terlihat kosong.

Sementara itu, praktisi dan pendamping petani kopi, Raja Banggas Rambe petani di desa ini harus mendapat pendampingan agar dapat mengelola kebunnya dengan baik sehingga hasil produksinya meningkat. Begitu juga dalam pemasaran, harus dibantu.
Dia juga mengaku prihatin dengan kondisi di lapangan. Namun menurutnya, penyebabnya bukan karena petani tidak tahu, tetapi enggan melakukan pemangkasan. Petani khawatir jika dipangkas, biji kopi yang akan dipanen tidak akan muncul.
Dikatakan Raja, dia melihat di kebun kopi petani kurang naungan sehingga membuatnya kurang produktif baik dalam pertumbuhan maupun pembentukan buah. “Nah, kurangnya curah hujan juga membuat kelembaban minim dan unsur harganya susah terurai,” katanya.
Dikatakannya, bahwa di desa ini yang mengelola kebun kopi adalah perempuan menjadi keunikan tersendiri. Dalam pandangannya, perempuan memiliki loyalitas dan totalitas dalam berkebun. Namun karena pembagian kerja dan kondisi kebun yang sulit membuat beberapa lahan terbengkalai.

Karena itu, dalam diskusi bersama petani, beberapa hal yang dibahas seperti pembuatan rorak, pemangkasan, penyiangan rumput, peremajaan akar dan penjelasan jenis kopi yang ada di kebun petani.
“Pembuatan rorak itu untuk membantu memenuhi kebutuhan air dan kompos. Selama ini, petani membeli kompos. Padahal, sisa-sisa pemangkasan dan rumput bisa diolah menjadi pupuk organik,” katanya.
Raja juga berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam membuat pupuk organik dasar menggunakan bahan berupa batang pisang, dedak, kotoran ternak dan rumput liar. Bahan-bahan yang digunakan adalah yang mudah ditemukan di pekarangan rumah.
Semua dicincang lalu dicampur dalam tong 180 liter, dan difermentasi selama dua minggu sebelum diaplikasikan. “Kami juga membuat pestisida nabati untuk mengendalikan hama serangga dan jamur. Untuk serangga, kami gunakan daun sirsak, serai, tembakau, dan daun pait-pait,” katanya.
Daun pait-pait itu, lanjut Raja, adalah daun yang memiliki kepahitan sehingga berefek kepada hama. “Semuanya digiling dicampur dalam jerigen 5 liter, 24 jam kemudian bisa digunakan. Untuk jamur gunakan rimpang, kunyit serai, legkuas dan jahe,” katanya.
Program manajer GJI, Sofian Adly mengatakan, pihaknya sudah beberapa tahun mendampingi Kelompok Tani Marsiurupan di antaranya melalui pelatihan budidaya; perawatan, pasca panen, pembuatan pupuk organik dan pestisida nabati.
GJI selama ini turut andil dalam memasarkan kopi dari para petani di desa ini bernama Puan Kopi dengan jangkauan lebih luas. “Petani kopi di sini yang semuanya adalah perempuan. Kota mendukung untuk pertanian secara organik,” katanya.
Leave a Comment
You must be logged in to post a comment.