
Belajar Kebijaksanaan dari Masyarakat Adat di Tapanuli
MEDAN, GJI.or.id – Zaman semakin berubah, pola kehidupan tentunya juga mengalami perubahan. Namun ternyata ada masyarakat adat di sejumlah daerah yang bertahan dengan nilai-nilai yang diwarisi dari leluhurnya. Di Tombak Na Marpatik (2022), masyarakat Batak mengenalnya dalam Dalihan Natolu, sebagai falsafah yang mewarnai seluruh system penghidupan termasuk pengaturan sumber daya, termasuk memengaruhi pengaturan-pengaturan sesifik di masing-masing lokasi. Termasuk berkaitan dengan agama dan politik desa.
Sebut saja masyarakat adat di Desa Simardangiang, Kecamatan Pahae Julu, Desa Pantis, Kecamatan Pahae Julu, dan Dusun Hopong, Desa Dolok Sanggul, Kecamatan Simangumban, Kabupaten Tapanuli Utara, dalam konteks tata Kelola sumber daya masih mempraktikkan system tua dari generasi sebelumnya. Apa saja itu? Yuk kita bahas.
KONGSI Tahun 1900, tetua di Desa Simardangiang bersepakat mendirikan Kongsi Hatopan Tua atau Saur Matua dan Kongsi Doli-doli yang secara harfiah artinya bergotong royong, terutama dalam mengelola tombak haminjon (hutan kemenyan) serta hasilnya. Keduanya mengelola wilayah adat kolektif dan rumah kongsi yang itu berfungsi sebagai pusat pasar, tempat bertemu serta mengumpulkan hasil kemenyan di ruangan khusus lantai dua (attic room). Hingga kini, rumah kongsi itu masih ada dan masih dipergunakan sebagai tempat berkumpul dan rapat.

PARPATIHAN Di Desa Simardangiang dan Desa Pantis, Kecamatan Pahae Julu, Kabupaten Tapanuli Utara, masih ditemukan institusi adat bernama Parpatihan yang bertugas mengatur administrasi dan tata kelola kemenyan, mulai dari hasil produksi kemenyan. Hutan tidak hanya menjadi sumber penghidupan, tetapi juga identitas dan warisan budaya bagi masyarakat. Mereka hidup dari hasil hutan bukan kayu (HHBK) mulai dari kemenyan, petai, jengkol, durian dan lainnya.
PANJAGO AEK Di Desa Simardangiang dan Desa Pantis mengenal tata kelola sumber daya air bernama Panjago Aek (Raja Bondar) yang bertanggung jawab dalam pengelolaan sumber daya air dalam hal pembagian aliran air, menjaga kualitas dan keberlanjutan air untuk sawah, kebutuhan rumah tangga. Panjago aek ini dipilih masyarakat untuk menjalankan tugasnya dalam waktu tertentu dengan upah atau barang sebagai bentuk penghormatan atau pernghargaan karena menjalankan perannya. Sistem ini sudah berjalan sejak ratusan tahun yang lalu dan tetap relevan hingga sekarang.

SAKKEHUDALI Jika di Bali terdapat perayaan Nyepi, di Desa Simardangiang dan Desa Pantis terdapat satu kearifan lokal yang serupa bernama Sakkehudali. Dua desa ini memiliki satu hari khusus di mana mereka menghentikan aktifitas kerja untuk beribadah dan bersosialisasi. Sakkehudali secara harfiah berarti menggantungkan cangkul.
Momen Sakkehudali menjadi ruang refleksi, wujud rasa syukur, penghormatan terhadap alam serta leluhur sekaligus untuk mempererat hubungan sosial. Di dalamnya juga terdapat tradisi gotong royong menyembelih hewan ternak untuk dinikmati bersama yang di masyarakat disebut dengan Marbinda. Di Desa Simardangiang karena mayoritas beragama Kristen, hewan ternak yang disembeli berupa babi. Sedangkan di Desa pantis yang terdapat warga yang beragama muslim, hewan ternak yang disembelih adalah kerbau atau sapi.

MARSADIAPARI Kearifan lokal yang disebut dengan Marsadiapari atau bekerjasama dalam aspek pertanian, panen kemenyan hingga berburu dan menangkap ikan di sungai. Dalam prakteknya, masyarakat membentuk kelompok kecil untuk bekerja secara bersamaan. Kelompok-kelompok kecil dibentuk untuk bekerja secara bergantian atau bersama-sama dan membagi hasil secara adil. Selain dapat meningkatkan produktifitas juga dapat menguatkan solidaritas di masyarakat.
MANIGE Pekerjaan mengambil getah kemenyan membutuhkan ketrampilan khusus, yakni Manige. Tak cukup sekedar keahlian teknis, masyarakat di Simardangiang menyebut bahwa siapapun yang mengambil kemenyan harus memiliki hubungan emosional dengan pohon kemenyan. Orang yang mengambil getah kemenyan harus menjiwai agar hasilnya bagus. “Saat kita mengambil getah, hati kita harus dalam keadaan baik. Mengucapkan doa-doa kepada Tuhan agar yang kita kerjakan itu berbuah kebaikan, keluarga kita sehat. Jadi pohon itu juga senang, dia memberikan getah yang baik. Kebaikan Tuhan keluar dari tombak haminjon,” katanya.

MARHONTAS Masyarakat masih menjalankan praktik Marhontas. Melalui tradisi ini hubungan suami istri terjalin dengan harmonis, saat sang suami hendak mencari getah kemenyan di tombak haminjon (hutan kemenyan), sang istri akan menunjukkan cinta kasihnya dengan menyiapkan makanan spesial seperti Itak Gurgur. Makanan tradisional ini dibuat dari beras yang dihaluskan disertai dengan daging.
MARAGAT Di Desa Simardangiang dan Desa Pantis, tanaman aren tumbuh dengan suburnya. Tanaman aren menjadi salah satu sumber penghasilan bagi masyarakat di dua desa tersebut. Untuk bisa mengambil manfaat dari tanaman aren, masyarakat harus memiliki kemampuan khusus dalam hal menyadap aren atau disebut Maragat. Sebagaimana halnya dengan Manige, seseorang yang hendak menyadap aren (Paragat) harus memahami tentang Rokkap atau pemintaan pohon aren atau daun tertentu untuk menutupi dahan yang telah dipotong.
“Maksudnya adalah kita harus berperilaku baik agar alam memberikan yang terbaik untuk kita semua. Bahwa alam sudah memberikan kebutuhan kita, kita pun harus bisa memberikan penghargaan kepada alam dengan tidak melakukan perusakan,” katanya.
Leave a Comment
You must be logged in to post a comment.