Nelayan Tradisional di Bagan Percut, Bertarung dengan Cuaca, Bertahan untuk Keluarga
MEDAN, GJI.or.id – Panas terik tak menyurutkan langkah Ridho (51) berangkat dari rumah menuju perahu di dekat dermaga di Desa Bagan, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang pada Selasa (15/10/2024). Angin kencang, aroma amis, dan asin khas pesisir menyeruak ke hidung. Riuh.
Di tempat ini, perahu berbagai ukuran datang dan pergi. Kesibukan itu terasa sejak pagi hingga malam. Ada yang mengeluh karena hasil tangkap menurun, minyak solar sulit didapat, utang ke tauke menumpuk, hingga perahu dan mesin yang rusak dimakan usia. Mereka tak begitu peduli perubahan iklim, tapi dampaknya mereka ‘telan’ setiap hari.
“Sekarang ini, kapan mau ke laut, ya berangkat lah. Dulu ada kata orang-orang tua, kalau mau ke laut, lihat cuaca. Dari situ kita nentukan di mana titiknya, ikan apa di mana, bisa kita terka. Sekarang macam tak berlaku itu,” katanya.
Dikatakannya, angin semakin sulit diprediksi. Kadang datang mendadak dengan gelombang besar, kadang kecil saja. Ikan, udang, kepiting, entah di mana didapatnya. Di lokasi yang menurutnya tidak ada, justru banyak dan sebaliknya. Untuk Ridho yang menggantungkan hidupnya hanya dari hasil tangkapan, situasi itu tidak menguntungkan. Tak sekali dia tergoda alih profesi menjadi buruh.
Dia mengaku tak begitu peduli dengan pemberitaan terkait perubahan iklim. Namun lambat laun, dia mulai melihat perubahan iklim sebagai sesuatu yang merepotkan baginya dan juga nelayan pada umumnya. Menurutnya, bisa saja orang lain berspekulasi tentang kehidupan nelayan, tapi yang jelas nasib nelayan menjadi lebih baik.
“Keahlian saya dari kecil itu di laut, kalo terpaksa jadi buruh, gak tau lagi lah. Trus kayak gini lah, anak-anakku nanti gimana hidupnya kalo terus di laut,” ujarnya gusar.
Dia bercerita, dulu untuk mencari ikan tak perlu sampai ke tengah. Sekarang terpaksa harus ke tengah. Otomatis pengeluaran untuk membeli minyah bertambah, biaya perawatan mesin dan perahu juga ikut naik. Di saat yang sama tangkapan tak seberapa. Situasi itu menurutnya juga dirasakan nelayan lain. Dia merasa tidak pernah menggunakan alat atau bahan yang merusak untuk mencari ikan di laut.
“Trus ini siapa yang bikin kayak gini. Siapa yang mau disalahkan. Capek lah, terima aja, tapi kesal,” katanya.
Dia mencoba menghitung hasil tangkapannya saat ini dibandingkan dengan tahun lalu. Angkanya cukup besar. Penurunan itu menurutnya sangat pasti. Dia tidak menyebut jumlah hasil tangkapan tetapi hasil penjualan. Jika tahun lalu dia bisa mendapat Rp 200 ribu bersih perhari, kini semakin tidak menentu. Kadang Rp 100 ribu, kadang Rp 50 ribu, kadang naik menjadi Rp 300 ribu.
“Tapi itu sesekali aja. Cenderung menurun. Trus kalo dulu punya anggota, sekarang tidak. Anak lah yang dibawa ke laut,” katanya.
Rekan Ridho, Namanya Abdul Sani menyebut ancaman utama nelayan adalah cuaca ekstrim. Hal itu lah yang arah angin berubah dan nyaris tak bisa diprediksi. Dia mengaku tak jarang batal berangkat ke laut karena itu. Dia tak mau mengambil resiko dengan peluang hasil yang tidak pasti.
“Gak mungkin lah ke laut kalo cuaca gak menentu,” katanya.
Dia lebih beruntung karena memiliki usaha lain, kedai kelontong di pasar. Namun demikian, melaut tetap menjadi profesi utamanya. Dia tak berniat untuk beralih menjadi pedagang.
“Mau gimanapun kita ini orang pesisir, ya, nelayan lah kita. Tapi maunya, ada solusi dari pemerintah. Bantu kami nelayan kecil ini. Kita gak tau apa-apa, tapi merasakan dampaknya. Tak pernah kita rambah mangrove, kita gak ada sawit atau tambak. Kan katanya itu penyebabnya perubahan iklim ini,” katanya.
Antara Tekanan dan Harapan
Yanti, istri Sani mengatakan, sebagai ibu rumah tangga, dia sangat kesulitan dengan situasi saat ini. Selain harus memaklumi penurunan hasil tangkapan suami, dia harus menyesuaikan uang yang ada untuk berbagai kepentingan, mulai dari memastikan tetap ada makanan di atas meja, anak tetap bisa sekolah, dan membayar utang atau pinjaman online.
“Ya harus berhemat ketat lah. Ini kedai kelontong juga tak seberapa hasilnya. Bisa untuk hidup aja lah, cukup aja udah syukur. Gak usah banyak angan-angan,” katanya.
Meski begitu, Yanti punya harapan besar kepada dua anaknya yakni bisa bersekolah tinggi, hidup dengan lebih baik dan bisa memberi manfaat kepada keluarga dan lingkungan. “Untuk itu, caranya gimana. Bantuan pemerintah ini harusnya bisa bikin anak-anak sekolah tinggi biar hidupnya lebih baik dari kami,” katanya.
Pakar tropical ecology and biodiversity conservation, Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara, Onrizal., PhD mengatakan berbicara nelayan, tidak bisa dilepaskan dari faka terjadinya deforestasi mangrove massifnya usaha pertambakan udang dan ikan pada tahun 1970-an.
Kemudian pertambakan itu mulai menurun seiring munculnya munculnya penyakit/hama yang sulit dikendalikan hingga kini. Akhirnya, lahan tambak yang dulunya hutan mangrove yang merupakan pelindung pantai dari abrasi, dibabat habis kemudian kembali berubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Potret itu bisa dilihat di wilayah pesisir timur Sumatera, seperti di Langkat, Deli Serdang, Serdang Bedagai hingga Labuhanbatu.
“Yang dulunya hutan mangrove, berubah menjadi tambak, setelah tak menguntungkan dikonversi jadi kebun sawit. Oh ada lagi, perambahan untuk jadi arang bakau. Jadi masalahnya sangat kompleks,” katanya.
Onrizal sudah banyak meneliti banyaknya fungsi hutan mangrove dan sangat berkaitan dengan perubahan iklim. Manusia harus tetap menjaga hutan mangrove demi keberlanjutan ekosistem pesisir dan laut yang mana itu dapat mendukung hidupnya biota laut.
“Kalau bicara secara ekologis, mangrove ini menjadi pelindung pantai dari abrasi, kemudian menjadi habitat berbagai jenis hewan, serta tempat hidup atau habitat bagi banyak tumbuhan atau flora. Kalau rusak, maka kerugian yang dialami tidak bisa dihitung. Kalau rusak, kita semua pun rugi besar karena 2/3 biota perairan itu hidupnya tergantung pada kualitass mangrove,” katanya.
Karena itu, dalam upaya mitigasi perubahan iklim, harus dilakukan upaya yang sifatnya mendesak yakni yakni mempertahankan hutan mangrove yang tersisa dan menghentikan laju deforestasi. Kemudian dilakukan pemulihan secara terintegrasi, melakukan berbagai kajian dan kampanye pengelolaan mangrove secara berkelanjutan.
Leave a Comment
You must be logged in to post a comment.