Perubahan Iklim dan Dampaknya Terhadap Penyebaran DBD
MEDAN, GJ.or.id – Kementrian Kesehatan RI merilis data terkait kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di 213 Kabupaten/Kota di Indonesia. Tercatat per 1 Maret 2024, terjadi 16.000 kasus dengan 124 kematian. Kasus ini diperkirakan terus berlanjut seiring dengan musim hujan setelah elnino.
Data tersebut diunggah di laman p2p.kemkes.go.id pada Kamis (21/3/2024). Tertulis dengan huruf tebal, ‘Meskipun DBD dapat disembuhkan, namun #Healthies perlu waspada kemungkinan komplikasi terjadinya Syok pada DBD atau istilah medisnya Dengue Shock Syndrome (DSS) yang bisa berujung kematian.’
Dikutip dari laman yang sama, Sumatera Utara termasuk dalam 10 provinsi tertinggi kasus DBD di tahun 2020 sebanyak 3.125. Namun semua kabupaten/kota di provinsi ini berstatus endemis DBD dengan kasus tertinggi di Medan, Deli Serdang, Pematangsiantar, Gunung Sitoli, Simalungun, Batu Bara, Serdang Bedagai, Langkat, Nias Utara dan Binjai.
Kepala Dinas Kesehatan Sumut, Alwi Mujahit sebelumnya mengatakan jumlah kasus DBD di Sumut cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2022, misalnya, ada 8.541 kasus DBD di Sumatera Utara, meningkat drastis dari tahun sebelumnya yakni 2.918 kasus. Jumlah itu harus ditekan meski tingkat kematian kasus (CFR) akibat DBD dapat dikendalikan.
Tahun 2022, CFR DBD tercatat di 0,7 persen atau kurang dari target yang ditetapkan yakni maksimal satu persen. Tahun 2023, sampai Maret, CFR ada di 0,4 persen. Menurutnya, hal tersebut menunjukan bahwa fasilitas kesehatan Sumut semakin baik dalam mengatasi kasus DBD.
Langkah-Langkah pencegahan yang dilakukan pencegahan seperti memberdayakan masyarakat dengan Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik (juru pemantau jentik) untuk memberantas sarang nyamuk sehingga tercapai angka bebas jentik (ABJ) lebih dari 95 persen. Mendorong masyarakat untuk melakukan 3M Plus, yakni menguras air, menutup penampungan air.
Selain itu, mendaur ulang barang bekas dan melakukan usaha tambahan seperti memelihara ikan pemakan jentik, menggunakan obat anti nyamuk, memasang kasa, membersihkan lingkungan, memeriksa penampungan air, meletakkan pakaian bekas dalam wadah tertutup dan lain-lain.
Saat wawancara dengan RRI pada awal Maret, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes Imran Pambudi mengatakan, sebaran kematian kasus DBD paling banyak di Jawa Tengah sebanyak 34 orang. Disusul Jawa Barat, 30 orang. Meski demikian, dari sisi jumlah kasusnya paling banyak adalah Jawa Barat, lebih dari 4.800.
Imran menambahkan, kelompok usia yang rentan terjangkit penyakit DBD terutama banyak dialami kelompok usia 5 sampai 14 tahun. Imran meminta orang tua lebih waspada karena risikonya lebih besar dibanding orang dewasa dan yang lebih susah ditangani adalah orang yang mengalami kegemukan atau obesitas karena gejalanya tidak terlihat.
Dalam keterangan tertulis yang diterima pada Selasa (12/3/2024), di Medan, kasus DBD pada Februari 2024 tercatat ada sebanyak 79 kasus. Dibandingkan dengan Januari 2023, tercatat 73 kasus. Kasus DBD pada Januari dan Februari tertinggi di Kecamatan Medan Selayang ada 11 kasus pada Januari dan di Februari ada 10 kasus di Kecamatan Medan Tuntungan.
Sedangkan secara tahunan, di tiga tahun belakangan tercatat fluktuatif. Tahun 2021 tercatat 648 kasus. Tahun 2022 tercatat 2.262 kasus dan turun drastis di 2023 sebanyak 965 kasus.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Medan, dr Pocut Fatimah Fitri menjelaskan, pada Januari 2023 sebanyak 165 kasus. Lalu disusul pada Februari sebanyak 128 kasus dan di Maret ada tercatat 100 kasus. Kasus kematian 2 kasus di bulan Februari dan Maret.
Terpisah, Manajer Program dan Tata Kelola Pengetahuan Wahana Lingkungan Hidup Sumatera Utara (Walhi Sumut), Fhiliya Himasari mengatakan, berbicara DBD tidak bisa lepas dari perubahan iklim. Isu global yang semakin nyata ini terbukti telah membawa dampak serius terhadap penyebaran berbagai penyakit, termasuk DBD.
Kondisi cuaca yang semakin ekstrem dan tidak menentu memicu peningkatan kasus DBD di berbagai wilayah di Indonesia. Fenomena ini menjadi perhatian utama para pakar kesehatan dan pemerintah yang kini berupaya keras untuk mengendalikan penyebaran penyakit yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti ini.
Peningkatan suhu global yang diakibatkan oleh perubahan iklim menciptakan lingkungan yang lebih hangat dan lembap, ideal bagi perkembangbiakan nyamuk. Suhu yang lebih tinggi mempercepat siklus hidup nyamuk, dari telur hingga dewasa, sehingga populasi nyamuk meningkat lebih cepat.
“Jadi perubahan iklim ini juga berkaitan dengan munculnya dan merebaknya penyakit. Suhu panas atau pun hujan ini memicu tumbuh kembangnya sumber penyakit, telur nyamuk, dan lain sebagainya,” katanya.
Dia mencontohkan, curah hujan yang tidak menentu menyebabkan genangan air yang menjadi tempat berkembang biak nyamuk. Daerah yang sebelumnya tidak terlalu terdampak DBD kini mulai melaporkan kasus-kasus baru akibat perubahan ini.
Selain DBD, penyakit yang juga muncul akibat perubahan iklim di antaranya malaria, chikungunya, penyakit kulit, kolera, diare, leptospirosis, asma, zoonosis seperti rabies, heatstroke dan penyakit lainnya yang rentan bagi anak-anak, lansia, dan pekerja luar ruang.
“Perubahan iklim menjadi tantangan besar bagi kesehatan kita. Dibutuhkan upaya mitigasi dan adaptasi yang terintegrasi untuk mengurangi dampak negatif perubahan iklim terhadap kesehatan manusia,” katanya.
Seorang warga Kabanjahe, Roza bercerita tentang bagaimana dua anaknya terkena DBD di tahun berbeda. Dia mengaku sangat khawatir dengan kondisi anaknya yang demam tinggi, lemas dan tidak nafsu akan Ketika terkena DBD. “Di sekitar rumah kan banyak semak-semak dan parit. Kondisinya lembab. Di situ banyak nyamuk DBD yang hidup,” katanya.
Menurutnya, mencegah penyebaran DBD harus dilakukan secara persama. Pemerintah di tingkat lingkungan harus menggalakkan fogging di titik tertentu yang iduga menjadi hidupnya jentik nyamuk. “Kita sudah lakukan upaya yang diimbau pemerintah. Tapi kalau skala lingkungan, harus fogging lah. Semprot lah di rumah, gudang dan rawa-rawa,” katanya.
Hal senada diungkapkan Nurul, warga Medan Marelan yang dua anaknya juga harus masuk ke rumah sakit selama seminggu karena terkena DBD. Menurutnya, menangani anak yang terkena DBD sangat melelahkan ecara fisik dan mental. “Kita selalu berupaya agar anak tidak terkena. Masyarakat lain juga harus menjaga lingkungannya agar tempat hidup nyamuk tidak ada lagi,” katanya.
Leave a Comment