Kearifan Lokal Jamu Laut di Desa Jaring Halus dan Mitigasi Perubahan Iklim
LANGKAT, GJI.or.id – Desa Jaring Halus, Kecamatan Secanggang, Langkat, Sumatera Utara tidak hanya dikenal sebagai penghasil ikan kerapu kelas ekspor. Potensi dan kekayaan sumber daya hayati, sosial budaya, dan ekonomi telah menggerakkan kehidupan masyarakat yang menerapkan peraturan adat sebagai kearifan budaya lokal.
Adalah Rustam, seorang tokoh masyarakat di desa pulau itu mengatakan, sejak tahun 1990-an, Desa Jaring Halus sudah dikenal sebagai penghasil ikan kerapu kelas ekspor. Pemasarannya tidak hanya di negara-negara Asia Tenggara, melainkan sampai ke Hongkong, China. Perikanan merupakan mata pencaharian utama masyarakat Desa Jaring Halus.
Selain kerapu, desa ini juga menjadi sentra produksi produksi perikanan tangkap dan budidaya, seperti udang, nila laut, kepiting, dan lain sebagainya. “Mata pencaharian masyarakat desa ini dari laut, karena itu, kelestarian ekosistem laut mejadi urat nadi masyarakat di sini,” ujarnya, Kamis (5/10/2023).
Desa yang berada di pulau terluar di sisi timur Pulau Sumatera ini masih menyimpan banyak potensi lain. Misalnya dari sisi kekayaan sumber daya hayati, banyak ditemukan satwa lokal di hutan-hutan mangrove di pulau ini. Mulai dari burung bangau tuntong, raja udang sungai, kuntul kerbau maupun calak merah. Di hutan tersebut, kera berbulu abu-abu bergerombol di pucuk bakau.
“Beberapa jenis elang juga sering nampak sedang hinggap di dahan pohon bakau,” katanya.
Hutan desa seluas 40 hektare tersebut, juga menyimpan banyak spesies mangrove di antaranya, Api-api (Aviceana marina), Dadap (Sonneratia casedoris), Lenggadai (Brugueira Parviflora), Bakau (Rhizophora Apiculata), Nipah (Nypa Fructicans), Nyirih (Xylocarpus Granatum) dan Buta-buta (Exoecaria Agallocha).
Vegetasi mangrove di dalamnya tumbuh dalam berbagai strata mulai fase semai, anakan, tiang dan pohon. Hal ini dikarenakan kondisi ekologisnya yang relatif baik dan ketersedian vegetasi yang produktif menjamin pemenuhan kebutuhan buah dan benih untuk keberlangsungan proses regenerasi.
Dari hasil analisis vegetasi diketahui ada 19 spesies mangrove (Major Mangrove) dan 11 spesies asosiasi mangrove (Minor Mangrove) tumbuh di hutan Desa Jaring Halus. Sebagian besar masyarakat Desa Jaring Halus berprofesi sebagai nelayan dan menggantungkan hidupnya pada keseimbangan ekosistem laut di sana.
Hingga saat ini, masyarakat masih mempertahankan kearifan budaya lokalnya untuk mempertahankan dan melindungi kawasan hutan desa. Sebagaimana diketahui, nilai kearifan budaya lokal adalah salah satu alat mitigasi perubahan iklim melalui praktik berkelanjutan yang telah terbukti efektif.
“Jamu laut tetap dilaksanakan oleh masyarakat di sini setiap 3 tahun sekali, sejak 1917 lalu, dan masih banyak peraturan adat yang ditaaati masyarakat di sini,” katanya.
Menurutnya, keadaan ini memang harus dijaga dan dipertahankan kelestariannya karena juga berpengaruh pada hasil tangkapan nelayan di sana. Terbukti komoditi utama hasil laut seperti udang dan kepiting sangat mudah didapatkan.
Bahkan untuk sekedar mencari biaya sekolah anak-anak di sana cukup dengan mencari kepiting di sekitar rumah mereka untuk dijual kepada pengumpul. Tapi masyarakat masih belum mendapat solusi bagaimana cara mengatasi dan memanfaatkan sampah.
Pada pukul 09.00 dan 16.00 hingga terbenam matahari, beberapa ekor ikan lumba-lumba kerap terlihat di perairan Desa Jaring Halus.
Kondisi perairan tidak memungkinkan bagi penduduk untuk membuat tempat pembuangan sampah. Selama ini sampah-sampah mereka langsung dibuang ke laut.
Bukan hanya itu, saat laut pasang sampah-sampah dari luar pulau juga singgah. Masyarakat berharap pada pemerintah daerah dan pemangku kepentingan untuk bersama-sama memikirkan masalah ini agar kelestarian ekosistem hutan mangrove di sana tidak tercemar oleh sampah.
Diketahui, penetapan kawasan lahan basah di Desa Jaring Halus karena kawasan ini merupakan kawasan Areal Peruntukan Lain (APL) sebagai penghalang abrasi dan intrusi air laut serta sebagai ekosistem mangrove yang memiliki nilai ekologis tinggi. Kawasan ini juga merupakan habitat alami bagi pesut/lumba-lumba air tawar.
Untuk sampai ke Desa Jaring Halus cukup mudah. Perjalanannya membutuhkan waktu 3 jam untuk sampai ke Desa Tanjung Ibus, yang menjadi batas akhir antara daratan dengan pulau-pulau kecil khas muara. Dari Tanjung Ibus ke Desa Jaring Halus, memakan waktu sekitar 45 menit.
Jika beruntung, sepanjang perjalanan, pada pukul 09.00 WIB dan 16.00 WIB hingga terbenam matahari, beberapa ekor ikan lumba-lumba kerap kali melompat-lompat ke permukaan menjadi pemandangan yang menakjubkan di perairan Desa Jaring Halus yang merupakan kawasan penyangga Kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut.
Strategi Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim
Perubahan iklim merupakan ancaman nyata yang dihadapi oleh umat manusia di abad 21. Dampak perubahan iklim tidak hanya berpengaruh pada lingkungan, tetapi juga pada kesehatan, ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat.
Oleh karena itu, diperlukan upaya bersama untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (mitigasi) dan meningkatkan ketahanan terhadap dampak perubahan iklim (adaptasi).
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat tradisional atau adat. Kearifan lokal adalah pengetahuan, nilai, dan praktik yang berkembang secara turun-temurun dalam suatu komunitas dan beradaptasi dengan kondisi alam dan sosial setempat. Kearifan lokal dapat menjadi sumber inspirasi dan solusi untuk mengatasi permasalahan perubahan iklim.
Jamu laut yang dilakukan oleh masyarakat di Jaring Halus merupakan bukti bahwa sejak dahulu nilai-nilai kearifan harus diutamakan dalam banyak aspek kehidupan. Bagaimana masyarakat hidup berdampingan dengan alamnya, mengambil manfaat dan melestarikannya, mencegah kerusakan terjadi.
Pengaturan waktu bagi penduduk setempat untuk mengambil hasil laut di wilayah adatnya adalah bentuk cara mencegah eksploitasi berlebihan dan menjaga keberlanjutan sumber daya. Begitu pula dengan hubungan masyarakat dengan alam sekitar dan penghormatan terhadap hal-hal yang dianggap sakral masih terjaga.
Masyarakat adat terbukti memiliki etika konservasi dan pengelolaan sumber daya alam yang ramah lingkungan. Mereka juga mampu mengidentifikasi risiko dan ancaman yang dihadapi serta mengembangkan strategi adaptasi yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lokal.
Hanya saja, kearifan lokal juga menghadapi tantangan dan ancaman dari perubahan iklim itu sendiri, serta dari faktor-faktor eksternal seperti modernisasi, globalisasi, dan marginalisasi.
Diperlukan upaya untuk melestarikan, mengembangkan, dan mengintegrasikan kearifan lokal dengan kebijakan dan teknologi yang mendukung upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Peran pemerintah, akademisi, praktisi, media, dan masyarakat sipil sangat penting dalam hal ini. Pemerintah dapat memberikan dukungan hukum, politik, dan ekonomi bagi masyarakat tradisional atau adat untuk menjalankan kearifan lokalnya.
Kearifan lokal dapat menjadi strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang efektif, efisien, dan berkelanjutan. Kearifan lokal juga dapat menjadi modal sosial yang memperkuat solidaritas dan kerjasama antara berbagai pihak dalam menghadapi perubahan iklim.
Leave a Comment
You must be logged in to post a comment.