Kemenyan, Komoditas Prioritas Tapanuli Hadapi Tantangan Krisis
TAPANULI UTARA, GJI.or.id – Kemenyan merupakan salah satu dari sekian banyak hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang menjadi komoditas penting bagi masyarakat khususnya di Tapanuli, Sumatera Utara. Sebagai komoditas prioritas, kemenyan juga memiliki tantangan; ditinggalkan hingga diganti pisang. Temuan ini menjadi titik awal untuk mulai lebih serius mengingat tantangan lebih besar yakni krisis pangan, air dan energi sudah di depan mata.
Hal tersebut terkuak saat Diseminasi Hasil Riset – Penelitian Kontribusi Hasil Hutan Bukan Kayu Terhadap Mata Pencaharian Masyarakat di 4 Desa di Tapanuli Utara yang digelar Green JUstice Indonesia pada Rabu (5/7/2023) siang. Akademisi Universitas Sumatera Utara (USU) yang melakukan penelitian itu, Hendri Sitorus PhD mengatakan, penelitian ini dilakukan di Desa Simardangiang, Pangurdotan, Pantis, Kecamatan Pahae Julu, dan Dusun Hopong, Desa Dolok Sanggul, Kecamatan Simangumban, Tapanuli Utara.
“Tujuan riset ini untuk memetakan apa HHBK yang sedang diakses oleh masyarakat, yaiyu tentang pola pemanfaatannya kemudian nilai ekonominya. Dalam riset itu menemukan kemenyan itu menjadi prioritas di mana ada tiga desa yang masyarakatnya cukup bergantung di atas 50% ekonominya dari hasil kemenyan yaitu Simardangiang, Pangordotan dan Pantis. Sementara di Dusun Hopong itu sudah meninggalkan kemenyan karena mereka sudah konversi ke pisang,” katanya.
Dikatakannya, dari aspek produksi, masyarakat sudah memiliki akses terhadap tanah walaupun berstatus hutan. Hal tersebut belum terlalu terjamin karena belum ada perizinan. Selama ini masyarakat menganggap bahwa itu wilayah adat mereka. Menurutnya, wilayah kelola mereka sebetulnya ada potensi konflik kepentingan livelyhood masyarakat dengan hutan lindung. “Sebetulnya masyarakat boleh untuk mengambil HHBK,” katanya.
Aspek produksi lainnya adalah bahwa untuk mendapatkan satu kilo mereka harus membersihkan, menderes, membuat lubang keluarnya getah kemenyan, bahwa harus dilakukan dengan memanjat sekitar 10 pohon/hari, hasilnya baru bisa dipanen 6 bulan kemudian. Ada bulan-bulan tertentu yang tidak stabil produksinya, menjadi tantangan bagi petaninya. Untuk mendapatkan 1 kg mereka harus 10 kali manjat berapa meter dan mereka harus tinggal di hutan beberapa hari.
“Nah itu menjadi tantangan tersendiri. Kemudian tidak adanya harapan petani terhadap harga. Petani merasa bahwa itu belum menguntungkan tapi tidak ada pilihan juga,” katanya.
Dikatakannya, dari segi harga, harapan petani itu lebih tinggi karena sulitnya memanen sehingga semestinya dihargai lebih mahal. Saat ini harga kemenyan untuk kualitas grade 1 sekitar Rp 300.000/kg sementara yang paling rendah Rp 80.000/kg. “Jadi intinya, ada persoalan tidak transparansinya harga kemenyan. Petani itu tidak tahu harga di nasional itu berapa dari survei ini, mereka hanya tahu itu dari pengepul lokal,” katanya. Transparansi harga merupakan faktor penting karena selama ini petani hanya bermain di level bahan baku mentah.
Dikonversi menjadi pisang
Hendri menjelaskan, dalam riset ini pihaknya menemukan bahwa di Dusun Hopong petani sudah mengganti kemenyan menjadi pisang. Pilihan tersebut diambil karena faktor ekonomi, rasionalitas, dan analisa resiko bisa jatuh (saat bekerja). “Kemudian pisang kan lebih (jelas harganya). Tapi sama aja itu kan masih di wilayah hutan juga cuma itu bukan HHBK karena dia kan sudah dikultivasi, sudah ditanam, artinya kan monokultur juga,” katanya.
Menurut Hendri, salah satu solusi dari masalah ini adalah membuka market dan koperasi. Kemudian masyarakat diberdayakan menjadi pengumpul, membangun jaringan. Misalnya bersama pendamping dengan melacak berapa kebutuhan kemenyan untuk gereja Katholik. “Itu kan jaringan kita juga. Walaupun bisa Jadi sentralistik. Harus dipastikan misalnya ya sudah cari di sana linknya,” katanya.
“Untuk di petani juga butuh kapasitas building terkait dengan standar transaksi nasional SNI kemenyan nah grade 1 itu apa pengenalan itu kepada petani itu penting supaya dia bisa bernegosiasi harga yang mana grade 1 jadi dia tidak hanya bergantung kepada pengumpul jadi ada posisi tawar itu dengan pengetahuan,” katanya.
Wakil Bupati Tapanuli Utara, Sarlandi Hutabarat mengatakan, kemenyan merupakan komoditas yang penting bagi peningkatan ekonomi masyarakat. “Persoalan kita ini sekarang bagaimana menumbuhkembangkan petani kemenyan. Mudah-mudahan pertemuan ini menjadi strategi untuk membantu petani kemenyan. Secara regulasi, ini harusnya nasional, tidak bisa lokal. Harus ada regulasi dari menteri. Pertama untuk melestarikan, menjamin petani kemenyan ini dan market tapi harganya kan dimainkan tengkulak. Ini harusnya ada pemasaran yang lebih adil yang bisa difasilitasi kementerian lah,” katanya.
Pemerhati Masyarakat Adat, Abdon Nababan mengatakan, yang harus dipersiapkan itu adalah menghadapi tantangan karena sebagai daerah yang kaya sumber daya alamnya, secara iklim cocok menjadi pertanian tapi secara tanah, karena tipis maka program yang harus dibangun adalah mengembangkan gerakan kompos karena bahannya ada. “Jadi pertanian selaras alam itu mestinya menopang ini dengan kelestarian alam karena kalau tidak dilakukan maka ancamannya adalah nanti air,” katanya.
Menurutnya, jika sumber air akan semakin langka dan akan menjadi sumber perang di masa depan dan daerah ini bisa menjadi target, apalagi ada Danau Toba. Ditambah lagi, tidak mungkin terus menerus mengandalkan energi fosil tetapi energi baru terbarukan. “Daerah ini kaya dengan energi terbarukan sehingga ini akan menjadi tempat yang diperebutkan. Nah dengan situasi seperti itu maka kepastian hak rakyat menjadi sangat penting karena hanya hukum yang bisa melindungi,” katanya.
Menurutnya, hasil riset ini masih sempit namun bisa menjadi sumber inspirasi untuk melihat lebih besar. Dari 4 Desa, dinaikkan levelnya menjadi 4 pembelajaran, sebagai knowledge untuk memikirkan bagaimana mengelola ekosistem Batang Toru. “Tidak boleh berhenti di 4 Desa ini. Secara metodologi sudah oke tapi itu hanya HHBK yang eksisting, memberikan kontribusi kepada ekonomi. Belum yang potensial. Kalau prospecting itu tadi tuh HHBK-nya lebih dari itu supaya manfaatnya bisa kelihatan dalam skala mempersiapkan masa-masa krisis pasca 2030. Tantangan kita itu krisis pangan, energi dan air pasca 2030,” katanya.
Abdon menambahkan, ketika iklim semakin parah, kawasan pesisir akan semakin tidak nyaman dihuni, mereka akan mencari tempat yang nyaman di atas. “Karena krisis yang terjadi ini menyangkut tiga hal krisis pangan, krisis energi dan krisis air ketiga sumber daya ini melimpah di Tanah Batak. Kalau kita mempersiapkan diri sejak sekarang maka kita akan menjadi tempat pusat dari seluruh solusi persoalan global masyarakat laut 2030. Pilihan ada di tangan kita, mau menjadi korban krisis itu atau menjadi solusi untuk krisis,” katanya.
Direktur Green Justice Indonesia (GJI), Dana Prima Tarigan mengatakan, Green Justice sudah mendampingi masyarakat selama 3 tahun. Lokasi dampingan yang pertama di Simardangiang, Pantis, Pangurdotan dan Hopong. Pendampingan yang dilakukan adalah memperkuat perekonomian masyarakat dan sekaligus melindungi hutan.
“Kita juga sudah bikin beberapa pesta adat seperti Parung-parung tahun lalu bersama Bapak Bupati (Taput). Jadi ini acara kita yang kedua dengan Pemkab Taput. Pertama dulu launching buku dilanjut dengan pesta Parung-parung dan hari ini kita maju selangkah untuk melakukan survei atau riset tentang HHBK,” katanya.
Dikatakannya, riset ini untuk memetakan HHBK apa saja yang dikelola dan belum dikelola secara maksimal. Menurutnya, hasil riset ini menjadi pengetahuan yang ditindaklanjuti dengan Pemkab Taput nantinya. Pihaknya berharap dapat terus bermitra dengan dan memperkuat ekonomi masyarakat. “Sekarang juga kami mempersiapkan bersama kepala desa Simarjangiang dan 3 desa lain mendorong sentra pembibitan kemenyan dan HHBK lainnya,” katanya.
Leave a Comment