10 Organisasi Deklarasikan RSA, Dorong Sulawesi Lebih Bersih dari Energi Kotor
SULTENG, GJI.or.id – Sejumlah organisasi masyarakat sipil bersepakat membentuk aliansi mendorong Pulau Sulawesi lebih bersih dari pencemaran dan kerusakan ekologis akibat penggunaan energi fosil batu bara. Begitu juga dengan solar diketahui sebagai energi fosil jadi penyumbang sangat tinggi karbon ke udara dan lingkungan sekitar termasuk pesisir laut.
Deklarasi itu diinisiasi oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Green Justice Indonesia (GJI) bersama Ekologi Nusantara Lestari (Ekonesia), Perhimpunan Bantuan Hukum Rakyat (PBHR), Yayasan Tanah Merdeka (YTM), Solidaritas Perempuan (SP) Palu, Komunitas Peduli Perempuan dan Anak (KPPA), Kompas Peduli Hutan (Komiu).
Direktur Eksekutif Daerag Walhi Sulawesi Tengah, Sunardi Katili pada Jumat (17/2/2023) menjelaskan, alansi yang dimaksud bernama Aliansi Sulawesi Terbarukan atau Renewable Sulawesi Alliance disingkat RSA. Digagas melalui pertemuan regional Sulawesi yang diselenggarakan di Kota Palu. “RSA merupakan perwujudan dari gerakan advokasi bersama,” ujarnya.
Hadir dalam deklarasi tersebut, Arianto Sangadji aktifis dan peneliti ekonomi politik sumber daya alam. Dia memaparkan pertambangan di Pulau Sulawesi khususnya nikel dan industri pengolahannya berada di Sulteng, Sulsel dan Sultra yang dikemas dalam topik Kapitalisme dan Energi Kotor Industri Nikel di Sulteng.
Asmar Exwar alias Slesh hadir sebagai fasilitator. Pria yang kesehariannya aktif di Jaring Nusa Kawasan Timur Indonesia juga aktif di Dewan Nasional Walhi. Kegiatan dua hari yang dipandu Ricard Labiro selaku Ketua Dewan Daerah Walhi Sulteng bersama Slesh melahirkan beberapa rekomendasi termasuk pembentukan RSA sebagai wadah advokasi bersama PLTU Captive dan Non Captive yang saat ini masih menggunakan batu bara sebagai penggerak PLTU dibeberapa kawasan industri nikel di wilayah Indonesia bagian timur.
Sunardi menambahkan, selain membentuk aliansi pulau Sulawesi tingkat regional, juga akan didorong aliansi di wilayah Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara yang akan dimotori dan dibentuk langsung oleh masing-masing Walhi daerah, agar upaya advokasi PLTU batu bara ini semakin massif dan gencar serta mendekatkan pada permasalahan yang ada.
Dalam presentasinya, Arianto Sangadji menyebutkan, merujuk data USGS 2021, Indonesia sebagai produsen penambangan pertama dan terbesar di dunia pada 2020 memiliki cadangan nikel sebesar 21 juta ton Ni setelah Negara Rusia memiliki 6,9 juta ton Ni. Indonesia saat ini telah memproduksi 760 ribu ton.
Jika dibandingkan dengan Negara Tiongkok hanya memiliki cadangan nikel 2,8 juta ton Ni dengan produksi 120 ribu ton, belakangan di tahun 2019 Indonesia penghasil utama nikel olahan dunia sebesar 361 ribu mt Ni meningkat hingga 539 ribu mt Ni di tahun 2020.
“Meski Negara Tiongkok terlihat 728 ribu mt Ni tahun 2020 agak tinggi tetapi trend Indonesia sebagai penghasil nikel olahan semakin melaju dan meningkat,” ujarnya.
Saat ini, Indonesia menjadi pemain utama industri pengolahan nikel dunia. Jika dilihat rantai nilai produksi nikel mulai penambangan, peleburan, penggunaan awal nikel hingga penggunaan akhir nikel, didominasi konsumsi energi fosil terutama saat pembukaan penambangan, pembersihan lahan, pengupasan tanah tertutup, penggalian, pemuatan dan pengangkutan menggunakan alat-alat berat berbahan bakar solar yang cukup tinggi sampai ke proses peleburan di smelter yang rakus energi bersifat murah dan kotor yaitu batu bara.
“Solar dan batu bara ini sebagai energi fosil jadi penyumbang sangat tinggi karbon ke udara dan lingkungan sekitar termasuk pesisir laut, sehingga jadi sorotan utama adalah terintegrasi upstream dan downstream processing industries dengan kata lain ongkos produksi murah, pertambangan dan industri pengolahan nikel bersifat padat energi dan oleh karena itu tinggi karbon dan yang terakhir industri pengolahan nikel dikuasai segelintir perusahaan multinasional,” ujarnya.
Diketahui kawasan timur Indonesia, khususnya pulau Sulawesi dan Maluku Utara sendiri terdapat kawasan industri pengolahan nikel, di Sulawesi Tengah ada Indonesia Morowali Industry Park (IMIP) beroperasi sejak tahun 2013 berada di Kabupaten Morowali merupakan kerjasama antara Bintang Delapan Group dari Indonesia dengan Tsingshan Steel Group dari Tiongkok.
Hingga 2020 terdapat lebih dari 20 perusahaan telah beroperasi di IMIP ini, tanah mentah mengandung nikel (ore) yang diproduksi menjadi nikel mayoritas disuplai dari wilayah pertambangan Bintang Delapan Mineral (BDM) dengan total luas konsesi 21.695 hektar dan Sulawesi Mining Invesment (SMI), kawasan ini telah mengoperasikan 6 unit PLTU berbahan bakar batu bara, belum lagi Baoshuo Taman Industri Investmen Group (BTIIG) di Desa Tofogaro Kabupaten Morowali.
Kawasan industri yang sama juga berada di Kabupaten Morowali Utara yaitu Gunbuster Nickel Industri (GNI) yang resmi beroperasi sejak 2021 milik Virtue Dragon Nickel Industri (VDNI) dengan luas lahan mencapai 1.907 hektar plus ditunjang fasilitas pelabuhan dengan total kapasitas produksi mencapai 1,8 juta ton feronikel per tahun dan input biji nikel sebanyak 21,6 juta ton dengan 25 jalur produksi yang mengoperasikan 4 unit PLTU batu bara dan kemungkinan kedepan PLTU batu bara akan semakin bertambah.
Selain IMIP, GNI dan BTIIG juga ada Delong Group dan New Tianjin Steel Group perusahaan baja tersohor dari Tingkok yang akan menanam investasinya guna perluasan industri nikel di Kabupaten Morowali dengan membentuk Delong Nickel Industrial Area.
Di Sulawesi Selatan, ada 3 unit PLTU batu bara semuanya dibangun perusahaan Tiongkok, satu unit terdapat di Kabupaten Barru untuk menyuplai infrastruktur seperti bandara dan kereta api dan dua unit di Kabupaten Jeneponto unit pertama untuk kebutuhan rumah tangga, satu unit lainnya untuk Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) yang saat ini ada tiga smelter telah beroperasi di sana, yaitu Huadi Nickel Alloy (HNA), Industri Nikel Huadi Yatai (INHY) dan Industri Nikel Huadi Wuzhou (INHW). Ketiga smelter itu milik perusahaan China dan ketiganya merupakan pabrik yang mengolah biji nikel menjadi feronikel.
Tingginya kebutuhan energi di kawasan ini mendorong pemerintah melalui Perusahaan Listrik Negara (PLN) membangun gardu induk untuk memasok kebutuhan listrik berdaya tinggi ke kawasan industri dengan total daya terpasang hingga 220 MVA (Mega Volt Ampere). Kemudian kebutuhan energi listrik berasal dari berbagai pembangkit listrik di sekitar Kabupaten Bantaeng, salah satunya PLTU Punagaya Jeneponto.
Di Sulawesi Tenggara, ada tiga perusahaan nikel beroperasi di Kabupaten Konawe dan Konawe Utara, yaitu Virtue Dragon Nickel Industri (VDNI) dengan 8 unit PLTU batu bara dengan kapasitas 530.000 KW, Obsidian Stainless Steel (OSS) memiliki 10 unit PLTU batu bara dengan total 1.820.000 KW, Aneka Tambang (Antam) dengan 2 unit PLTU batu bara kapasitas 75.000 KW, kesemua diduga telah berikan dampak kerusakan ekologis dan kehidupan rakyat terkait partikel debu hitam PLTU tersebut.
Di ketiga provinsi Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara ada Vale memiliki sejarah panjang di Indonesia sejak tahun 1920-an, diawali ekplorasi di wilayah Sulawesi bagian timur. Dahulu bernama International Nickel Indonesia atau Inco milik Negara Kanada berdiri pada tahun 1968 dengan konsesi awal seluas 6,6 juta hektar di bagian timur dan tenggara Sulawesi.
Di tahun yang sama Inco dan Pemerintah Indonesia menandatangani Kontrak Karya (KK) sejak saat itu Inco memulai pembangunan smelter di Sorowako, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Melalui Perjanjian Perubahan dan Perpanjangan yang ditandatangani pada tahun 1996, KK diubah dan diperpanjang hingga tahun 2025.
Inco berganti nama menjadi Vale milik negara Brazil tahun 2011. Pada tahun 2014, Vale dan Pemerintah Indonesia mencapai kesepakatan setelah renegosiasi KK. Salah satu poin regenosiasi adalah pengurangan wilayah KK dari sebelumnya seluas 190.510 hektar jadi 118.435 hektar.
Saat ini Vale memiliki 3 unit Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Kabupaten Luwu Timur masing-masing di Larona produksi daya listrik rata-rata 165 megawatt, Balambano sebesar 110 megawatt dan Karebbe sebesar 90 megawatt difungsikan pemasok tenaga listrik guna mengoperasikan tahap tanur peleburan dan pengolahan biji nikel di pusat pengolahan.
Ketiga unit PLTA tersebut mengambil tenaga air dari danau Matano, Mahalona dan Towuti. Meski demikian Vale masih tetap akan menggunakan PLTU batu bara jika sewaktu-waktu PLTA tidak mampu beroperasi karena danau surut, PLTA tetap mix dengan batu bara.
Pada 2017 Vale melepaskan wilayah seluas 418 hektar yang digunakan pemerintah daerah sebagai kawasan terpadu mandiri, sehingga luas KK Vale saat ini menjadi 118.017 hektar meliputi Sulawesi Selatan seluas 70.566 hektar, Sulawesi Tengah seluas 22.699 hektar dan Sulawesi Tenggara seluas 24.752 hektar. Nikel Vale dijual seluruhnya ke Sumitomo Metal Mining Co, Ltd asal Negara Jepang dalam kontrak khusus jangka panjang.
Tahun 2021 hingga tahun 2026 mendatang, Vale akan mengerjakan mega proyek smelter senilai 134,3 triliun rupiah di 3 wilayah yaitu Sorowako di Sulawesi Selatan, Bahodopi di Sulawesi Tengah dan Pomalaa di Sulawesi Tenggara yang akan menghasilkan 165 ribu ton nikel per tahun, masing-masing di Sorowako menghasilkan 60 kilo ton nikel.
Bahodopi menghasilkan 73-80 kilo ton nikel dalam feronikel dan Pomalaa memproduksi sebesar 120 ribu ton nikel per tahun dengan komposisi pemegang saham akhir Huayou 53%, Vale 30% dan Ford 17%. Diketahui, saat ini di Maluku Utara ada Weda Bay Industrial Park (IWIP) berdiri sejak 2018 di Kabupaten Halmahera Tengah juga menggunakan PLTU batu bara memproduksi 8 x 250 MW.
Semua kawasan industri nikel tersebut menjadi Proyek Prioritas Nasional berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 18 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020 – 2024, berstatus Obyek Vital Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 63 Tahun 2004 salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) Presiden Joko Widodo melalui pengesahan Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.
Secara khsusus pelarangan penggunaan batu bara pada PLTU telah diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 Tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukkan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik, meski akhirnya juga peraturan ini tidak berlaku surut.
Leave a Comment