Kisah Pemuda Petani Kemenyan di Simardangiang dan Peluang dari Produk Turunan
TAPANULI UTARA, GJI.or.id – Namanya Luas Partaulian Tambunan. Pemuda ini lahir dan besar di Bogor, Jawa Barat. Sebelum akhirnya tinggal di Dusun Sibio-bio, Desa Simardangiang, Kecamatan Pahae Julu, Kabupaten Tapanuli Utara, Luas bekerja di perusahaan tambang nikel di Ternate, Provinsi Maluku Utara. Penghasilan tinggi itu telah ditinggalkannya dan kini tinggal bersama ayah dan ibunya menjadi petani kemenyan.
Pada Selasa (29/11/2022) siang, dia mengenakan kemeja lengan panjang putih, celana panjang warna coklat. Di pundaknya tergantung tas kecil dan keranjang anyaman berisi tali dan kayu khusus untuk memanjat. Pemuda yang ramah itu membawa kami ke ladang Batupiaga yang bisa ditempuh selama setengah jam berjalan kaki dari dusun. Tak nampak lelah nafasnya ketika mendaki tombak (hutan).
Sepatu yang tapaknya bergerigi itu memudahkannya menjejak di tanah berlumpur dan licin. Sesekali dengan parang yang dipinggangnya dia memotong ranting dan dahan yang menghalangi jalan. Tiba di satu titik, dia menunjuk salah satu batang pohon kemenyan yang akan dipanjatnya sembari mengatakan bahwa dia sangat paham setiap jengkal ladangnya. Ada pohon petai dan beberapa tanaman nenas. Sebagian sudah matang dan disantap. Rasanya manis.
Sambil mengeluarkan peralatan panjatnya, dia bercerita bagaimana dia bisa lahir dan besar di Bogor. Kedua orangtuanya merantau ke koita hujan itu pada 1979. Kemudian tahun 2003, ayahnya pulang ke Simardangiang dan tinggal menetap. Diikuti ibunya. Awalnya, ayah dan ibunya tidak tahu bagaimana mengambil getah kemenyan.
Warga akhirnya mengajarinya. Ayahnya juga sempat menjadi ketua parpatikan. Ayahnya juga banyak menanam kemenyan. Kemudian, 3 – 4 tahun yang lalu ayahnya sakit sehingga pekerjaannya di perusahaan tambang nikel bersama orang asing itu ditinggalkannya. Awalnya dia sama sekali tidak tahu bagaimana bekerja di tombak haminjon (hutan kemenyan).
Seperti halnya ayahnya, dia pun diajari oleh warga lainnya. Berangsur dia pun mulai paham. Hampir setiap hari dia ke ladang untuk mengambil kemenyan.Menurutnya, hanya beberapa orang saja pemuda yang ada di desa untuk mengambil kemenyan. Lebih banyak lagi yang keluar dari desa dan bekerja di sektor lain. Dalam seminggu dia bisa mengumpulkan 25 kg kemenyan yang masih basah.
Kemenyan itu nantinya dikeringkan, dipisahkan berdasarkan grade atau kategori dan kulitnya. Dia sengaja tetap membawa kulit karena masih laku. Hal itu tak dilakukan orang lain.Umumnya yang mengambil kemenyan ke ladang adalah orang yang sudah berumur di atas 50 tahun. Dia mencontohkan ayahnya yang usianya sudah di atas 60 tahun.
Jumlah kemenyan yang didapatkannya tentu berbeda dengan dirinya yang masih berusia muda dan lebih kuat. “Harga kemenyan saat ini sekitar Rp 280.000. Harganya sebenarnya adil sih. Bahan baku mana yang harganya segitu,” katanya.
Pendapatnya tentang harga kemenyan itu berbeda dari kebanyakan warga yang mengatakan bahwa harga 1 kg kemenyan pernah setara dengan 1 gram emas. Mengenai kemenyan, dia berharap ada teknologi yang bisa menjadikan petani tidak hanya menjual mentah. Seharusnya petani bisa menjual produk turunannya.
“Kalo bisa ini ada produksi turunan, ada pabrik yang dibilang, setidaknya setenga jadi. Kalo ada pabrik kan harganya jadi lebih naik,” katanya.
Luas kemudian memukul-mukul batang kemenyan yang dipanjatnya. Dia tak terlihat kesulitan untuk memanjat pohon kemenyan dengan alat yang dibawanya. Saat itu lah dia tiba-tiba berteriak ‘Parung’. “Biasanya, kalau di tombak ini, kita teriak tokok (pukul) batangnya, lalu teriak parung, orang di tempat lain yang mendengar juga akan membalas teriak parung. Jadinya kita pun tau ada orang yang lagi ambil kemenyan di sana,” katanya.
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang juga ketua Biomassa dan Bioproduk, Aswandi menjelaskan, kemenyan sumatera (Styrax benzoin) ini tersebar di seputar Danau Toba. Dia menduga, aroma kemenyan bisa berbeda sesuai dengan cara, musim, lokasi panen dan lingkungannya. Dia mencontohkan, di Pakpak Bharat pada 2016.
Saat itu dia di hutan kemenyan dan mencium aroma kemenyan yang semakin wangi karena hujan. Dari segi riset kandungan apa dari dalam kemenyan sumatera (Styrax benzoin) sudah diketahui. Pihaknya juga sudah mempunya prototype dalam bentuk minyak, parfum, skin care dan lain sebagainya. “Cuma, yang mendeliver ke masyarakat itu perlu waktu,” katanya.
Pihaknya sudah menjalin kerjasama dengan berbagai pihak lain seperti pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat, UMKM, dan lainnya sehingga pengetahuan mengolah kemenyan bisa sampai ke masyarakat. Misalnya dengan memunculkan kreatifitas anak muda membuat minyak dan parfum dari kemenyan.
“Rahasia (kemenyan menjadi minyak parfum) itu masih dijaga oleh produsen parfum seperti di Paris, Eropa. Mereka tahu bikin parfum itu terbaik dari kemneyan,” katanya.
Hanya saja, bahwa Indonesia atau Sumatera Utara sebagai produsen kemenyan terbesar, sampai saat ini kemenyan masih diekspor dalam bentuk mentah. BRIN, kata dia, mendiseminasikan ke masyarakat bagaimana membuat minyak atsirinya, membuat formulasi parfum, skin care yang baik dan lainnya. “Itu tugas kita memberi pengetahuan ke masyarakat bahwa kemnyan itu tidak hanya bentuk bongkahan, apalagi dikooptasi dengan dibakar,” katanya.
Aswandi menjelaskan, jika dilihat dari petani, pengumpul dan pedagang besar hingga eksportir juga tidak kuasa untuk sampai ke industrinya. Sehingga harga menjadi fluktuasi. Padahal sesungguhnya di pasar internasional relatif sama, bahkan meningkat. Rantai panjang itu karena ketidaktahuan, tertutupnya informasi.
“Ujungnya kita tak tahu kemenyan itu untuk apa, selama ini orang tahunya dibakar aja, tapi tak mungkin 5 ton dibakar. Ilmu pengetahuan sudah membukanya, kemenyan untuk anti depresan, kosmetik, anti flek, jerawat, itu sangat berharga. aroma terapi,” katanya.
Dikatakannya, secara pribadi, informasi tentang fungsi kemenyan masih sangat sedikit didapat sebelum tahun 2016. “Jadi hutan kemenyan itu, apalagi kalau habis hujan, aromanya enak. Keluar aromanya. Jadi kita belajar, oh kenapa tak kita coba untuk minyak. Kami coba dalam bentuk minyak. Lalu kita blending untuk hasilkan aroma yang enak untuk aterapi, dan lain-lain,” katanya.
Dikatakannya, kemenyan adalah bisnis yang sangat layak karena dari 1 kg resin kemenyan, tergantung grade, bisa didapatkan 40 – 50 persen minyak kemenyan. “Jadi teknologi kita untuk mengubah. Sebenarnya di alam, waktu kita guris itu kan keluar minyak lalu menggumpal dan mengeras. Kita encerkan lagi dengan pelarut organik, setelah didapat minyaknya, pelarutnya kita hilangkan. Bayangkan, dari 1 kg dapat 400 mili liter. Untuk jadikan parfum itu kann hanya butuh beberapa mili saja,” katanya.
Dikatakannya, minyak kemenyan ini berfungsi sebagai pengikat parfum sehingga bisa bertahan lebih lama, lebih enak dan tanpa alkohol. “Dari 5.000 ton diekspor dalam bentuk bongkahan, walaupun sudah ada beberapa yang dalam bentuk minyak. Harapan kita tak lagi dalam bentuk mentah itu. Ada di mana teknologinya, ada di kita. Teknologinya bisa diadopsi. Jadi ada BRIN fasilitasi riset, Pemda yang mau menampung, ada LSM yang mendampingi masyarakat,” katanya.
Sebagai ketua peneliti bioproduk atsiri, dia punya agenda riset tentang kementan hingga tahun depan. Pihaknya sudah bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat. Dia berharap juga dapat dilakukan dengan Pemkab Tapanuli Utara dan Humbang Hasundutan. “Jadi sekurangnya 3 produsen kemenyan, ada produk minyak kemenyan yang bisa ditampilkan di bandara, hotel-hotel dan lainya,” katanya.
Menurutnya, membuat mintak kemenyan ini bahkan skala UMKM atau Badan Usaha Milik Desa juga bisa. Pihaknya saat ini memiliki alat dengan kapasitas 10 kg sekali olah. “Kajian saya, kemenyan di Pakpak Bharat itu sangat dipengaruhi lokasi, cara panen dan musim panen. Kemenyan yang dipanen di bulan 6, akan berbeda dengan dipanen di bulan 12. Ini bisa jadi harapan baru bagi masyarakat,” katanya.
Leave a Comment