GREEN JUSTICE INDONESIA GREEN JUSTICE INDONESIA
  • HOME
  • ABOUT US
  • PUBLICATION
    • NEWS & MEDIA
    • ARTICLE
    • LIBRARY
  • EVENTS & ACTIVITIES
  • CONTACT US
Green Justice Indonesia memfasilitasi study banding MHA Simenakhenak untuk belajar tentang budidaya dan pengolahan kopi di Tyyana Kopi.
  • May 28, 2025
  • gjimedan
  • 0 Comments
  • 6 Views
  • 0 Likes
  • NEWS & MEDIA

Cerita Komunitas Adat Simenakhenak Belajar Budidaya Kopi di Tapanuli Selatan

TAPANULI SELATAN, GJI.or.id – Kopi merupakan salah satu komoditas primadona di Sumatera Utara. Tetapi belum semua petani memahami secara utuh proses budidaya hingga pasca panen. Dibutuhkan proses pembelajaran agar petani kopi dapat meningkatkan ekonominya secara berkelanjutan dengan prinsip selaras dengan alam.

Green Justice Indonesia (GJI) memfasilitasi Komunitas Masyarakat Hukum Adat (MHA) Simenakhenak, Desa Parsoburan Barat, Kecamatan Habinsaran, Kabupaten Toba belajar bersama tentang kopi di Desa Aek Sabaon, Kecamatan Marancar, Tapanuli Selatan, tepatnya di Tyyana Kopi pada 25 – 26 Mei 2026.

Pemateri pertama yang merupakan pemilik Tyyana Kopi, Abdul Wahid Harahap mengatakan, sebagai petani kopi, hal mendasar yang harus dipahami adalah memilih jenis kopi sesuai ketinggian lokasi tanam. Dikatakannya, kopi yang sangat cocok ditanam di wilayah tapanuli adalah arabika. Sebagian warga menyebutnya sigararutang.

Selanjutnya, petani harus memahami tentang teknik pembibitan, pemupukan sesuai struktur tanah, dan penanaman yang memperhatikan arah sinar matahari serta peran tanaman pelindung. Sebab, lanjut Wahid, keberhasilan dalam menanam kopi ditentukan oleh dua hal: proses pembibitan dan pemangkasan.

Suasana diskusi saat study banding MHA Simenakhenak di Tyyana Kopi, beberapa waktu lalu.

“Tapi sebenarnya ya, tidak ada standar baku untuk keberhasilan penanaman kopi. Tapi yang jadi patokan itu jumlah daun dan kondisi akar. Di situ bicara pembibitan dan pemangkasan. Mislanya, lubang tanam harus sudah ada dua minggu sebelumnya agar mikroorganisme tanah aktif,” katanya.

Wahid menjelaskan, memangkas cabang dan tunas bisa meningkatkan produksi buah hingga 60 persen. Banyak petani yang beranggapan banyak daun, banyak buah. Fakta yang terjadi sebaliknya. Daun banyak, buahnya sedikit. Meski demikian, petani juga harus paham mana cabang produktif yang tidak sehat, serta kapan dan bagaimana memangkasnya dengan benar.

Narasumber kedua, Wawan Harahap menjelaskan tentang pascapanen. Mulai dari teknik pengolahan kopi seperti full wash, semi wash, natural, honey, dan fruity. Menurutnya, setiap teknik yang digunakan memiliki kelebihan dan kekurangan.

Begitu juga dengan keunikan citarasa dan harga jualnya. “Misalnya proses honey dan wine/ fruity, memiliki nilai tinggi. Kalau dijual harganya bisa Rp280.000/kg di tahun 2025. Tapi teknik fermentasi pada proses ini menuntut kejelian dan pemahaman seperti tingkat kebersihan agar tidak gagal,” katanya.

Selanjutnya, yang juga penting dipahami adalah proses penjemuran. Dikatakannya, biji kopi dinyatakan kering jika kadar air sudah mencapai 12 persen. Cara sederhana untuk mengetahui kadar air pada biji kopi adalah dengan menggigitnya. Jika masih lembut maka kadar air masih tinggi.

“Penjemuran di atas aspal (yang biasa teradi di desa-desa) tidak baik karena dapat merusak dan mengurangi kandungan kopi,” katanya.

Setelah biji kopi dikeringkan, dilakukan pengupasan kulit gabah (hulling), lalu disortir sesuai ukuran dan kualitas. Selanjutnya, di-roasting. Proses ini akan menentukan karakter rasa akhir dari kopi.

Wawan kemudian menjelaskan 5 tingkat pemanggangan:

1. Light (suhu 160–165°C selama 25 menit)

2. Medium (170–180°C selama 10 menit)

3. Dark (185–195°C selama 10 menit)

4. Ekstra dark (200–205°C selama 10 menit)

5. Gosong, yang sudah tak layak konsumsi atau jual.

Dalam sesi ini, muncul pertanyaan tentang apa tumbuhan penaung yang cocok untuk kopi di ketinggian 1.600 meter di atas permukaan laut (mdpl). Menurutnya, tanaman yang cocok adalah lamtoro dan kayu ombun yang memiliki kandungan mineral tinggi.

Kemudian, dapdap, yang bisa menaungi hingga 10 batang kopi. “Untuk pemasaran kopi, dalam bentuk green bean, jika proses produksinya sudah tepat, kopi bisa langsung dipasarkan,” katanya.

Dalam kesempatan itu, Wawan menyarankan agar petani mengurangi penggunaan pupuk kimia. Tidak hanya tidak baik dalam jangka panjang, pupuk kimia juga berpengaruh pada kualitas rasa dan aroma biji kopi.

Narasumber menjelaskan materi budidaya dan pasca panen kopi kepada MHA Simenakhenak di Tyyana Kopi.

Justru pupuk organik dan pengolahan alami lah yang mampu menjaga cita rasa dan keberlanjutan ekosistem.

Bagi petani kopi, pelatihan ini sangat bermanfaat karena memberi banyak pengetahuan sekaligus motivasi. Salah satu petani bernama Robin Simbolon mengatakan, petani kopi di Simenakhenak kini menjadi paham bahwa keberhasilan kopi yang ditanamnya tidak hanya soal kerja keras tetapi juga ilmu dan pengetahuan petani.

“Kami perlu terus belajar agar kopi kami punya nilai jual tinggi tanpa merusak tanah dan alam,” ujarnya.

Pada hari kedua, dilakukan praktik lapangan melanjutkan materi teori sehari sebelumnya, dipandu oleh Abdul Wahid Harahap. Mulai dari cara membersihkan daun/tanaman kopi yang terlalu rimbun.

Terlalu banyak daun tidak baik untuk tumbuhnya buah kopi karena mengurangi akses sinar matahari masuk ke batang kopi. Selain itu, memangkas cabang yang memutih yang tidak produktif, memangkas tunas serta mengatasi jamur.

Dalam kegiatan ini, juga dihadiri Raja Banggas Rambe, asisten pelatih kopi, Project Officer Green Justice Indonesia, Chandra F.d Silalahi dan Gebi Aprilia Nababan, Mahasiswa magang UIN Syahada Padangsidimpuan, Anwar Hasibuan, Aliansi Masyarkat Adat Nusantara (Marlina Pasaribu) dan local champion petani kopi dari Komunitas MHA Simenakhenak, Robin Simbolon, Andreas Sinambela, Herman Nababan dan Fenju Simanjuntak.

Tags:
budidaya KopiClimate ChangeforestearthGjiGreen Justice Indonesiamasyarakat Adatmha Simenakhenakpasca Panentyyana Kopi
Prev PostPeringatan Hari Bumi; Menjaga Ekosistem Kunci Mengatasi Krisis Iklim
Next PostMenyatukan Habitat, Menyelamatkan Orangutan Tapanuli
Related Posts
  • Tepatnya di Dusun II Paromaan, Desa Tapian Nauli Saurmanggita, Kecamatan Tukka, Kabupaten Tapanuli Tengah. Selama bertahun-tahun mayoritas masyarakatnya hidup dari hasil menebang kayu di hutan. Ketiadaan alternatif usaha lain dan sulitnya akses jalan membuat mereka melakukannya meski sadar dengan resikonya. Perkumpulan Samudera mendampingi mereka agar berhenti menebang kayu dan beralih usaha madu dan kopi robusta.
    Upaya Hentikan Penebangan Kayu, Beralih Usaha Madu dan Kopi June 17, 2025
  • Risminda Hutabarat mengatakan, masyarakat sebenarnya sadar bahwa aktivitas menebang kayu di hutan sangat berresiko namun terpaksa dilakukan karena tidak ada alternatif lainnya.
    Mencari Alternatif Selain Menebang Kayu di Tapian Nauli Saurmanggita June 15, 2025

Leave a Comment Cancel Comment

You must be logged in to post a comment.

greenjusticenow@gmail.com Drop Us a Line
(061) 80471297 Call Us Now
Jl. Bunga Terompet V No.25, Padang Bulan Selayang II, Kec. Medan Selayang, Kota Medan, Sumatera Utara 20132 Get Direction
copyright © www.gji.or.id 2022