
Cerita Komunitas Adat Simenakhenak Belajar Budidaya Kopi di Tapanuli Selatan
TAPANULI SELATAN, GJI.or.id – Kopi merupakan salah satu komoditas primadona di Sumatera Utara. Tetapi belum semua petani memahami secara utuh proses budidaya hingga pasca panen. Dibutuhkan proses pembelajaran agar petani kopi dapat meningkatkan ekonominya secara berkelanjutan dengan prinsip selaras dengan alam.
Green Justice Indonesia (GJI) memfasilitasi Komunitas Masyarakat Hukum Adat (MHA) Simenakhenak, Desa Parsoburan Barat, Kecamatan Habinsaran, Kabupaten Toba belajar bersama tentang kopi di Desa Aek Sabaon, Kecamatan Marancar, Tapanuli Selatan, tepatnya di Tyyana Kopi pada 25 – 26 Mei 2026.
Pemateri pertama yang merupakan pemilik Tyyana Kopi, Abdul Wahid Harahap mengatakan, sebagai petani kopi, hal mendasar yang harus dipahami adalah memilih jenis kopi sesuai ketinggian lokasi tanam. Dikatakannya, kopi yang sangat cocok ditanam di wilayah tapanuli adalah arabika. Sebagian warga menyebutnya sigararutang.
Selanjutnya, petani harus memahami tentang teknik pembibitan, pemupukan sesuai struktur tanah, dan penanaman yang memperhatikan arah sinar matahari serta peran tanaman pelindung. Sebab, lanjut Wahid, keberhasilan dalam menanam kopi ditentukan oleh dua hal: proses pembibitan dan pemangkasan.

“Tapi sebenarnya ya, tidak ada standar baku untuk keberhasilan penanaman kopi. Tapi yang jadi patokan itu jumlah daun dan kondisi akar. Di situ bicara pembibitan dan pemangkasan. Mislanya, lubang tanam harus sudah ada dua minggu sebelumnya agar mikroorganisme tanah aktif,” katanya.
Wahid menjelaskan, memangkas cabang dan tunas bisa meningkatkan produksi buah hingga 60 persen. Banyak petani yang beranggapan banyak daun, banyak buah. Fakta yang terjadi sebaliknya. Daun banyak, buahnya sedikit. Meski demikian, petani juga harus paham mana cabang produktif yang tidak sehat, serta kapan dan bagaimana memangkasnya dengan benar.
Narasumber kedua, Wawan Harahap menjelaskan tentang pascapanen. Mulai dari teknik pengolahan kopi seperti full wash, semi wash, natural, honey, dan fruity. Menurutnya, setiap teknik yang digunakan memiliki kelebihan dan kekurangan.
Begitu juga dengan keunikan citarasa dan harga jualnya. “Misalnya proses honey dan wine/ fruity, memiliki nilai tinggi. Kalau dijual harganya bisa Rp280.000/kg di tahun 2025. Tapi teknik fermentasi pada proses ini menuntut kejelian dan pemahaman seperti tingkat kebersihan agar tidak gagal,” katanya.
Selanjutnya, yang juga penting dipahami adalah proses penjemuran. Dikatakannya, biji kopi dinyatakan kering jika kadar air sudah mencapai 12 persen. Cara sederhana untuk mengetahui kadar air pada biji kopi adalah dengan menggigitnya. Jika masih lembut maka kadar air masih tinggi.
“Penjemuran di atas aspal (yang biasa teradi di desa-desa) tidak baik karena dapat merusak dan mengurangi kandungan kopi,” katanya.
Setelah biji kopi dikeringkan, dilakukan pengupasan kulit gabah (hulling), lalu disortir sesuai ukuran dan kualitas. Selanjutnya, di-roasting. Proses ini akan menentukan karakter rasa akhir dari kopi.
Wawan kemudian menjelaskan 5 tingkat pemanggangan:
1. Light (suhu 160–165°C selama 25 menit)
2. Medium (170–180°C selama 10 menit)
3. Dark (185–195°C selama 10 menit)
4. Ekstra dark (200–205°C selama 10 menit)
5. Gosong, yang sudah tak layak konsumsi atau jual.
Dalam sesi ini, muncul pertanyaan tentang apa tumbuhan penaung yang cocok untuk kopi di ketinggian 1.600 meter di atas permukaan laut (mdpl). Menurutnya, tanaman yang cocok adalah lamtoro dan kayu ombun yang memiliki kandungan mineral tinggi.
Kemudian, dapdap, yang bisa menaungi hingga 10 batang kopi. “Untuk pemasaran kopi, dalam bentuk green bean, jika proses produksinya sudah tepat, kopi bisa langsung dipasarkan,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Wawan menyarankan agar petani mengurangi penggunaan pupuk kimia. Tidak hanya tidak baik dalam jangka panjang, pupuk kimia juga berpengaruh pada kualitas rasa dan aroma biji kopi.

Justru pupuk organik dan pengolahan alami lah yang mampu menjaga cita rasa dan keberlanjutan ekosistem.
Bagi petani kopi, pelatihan ini sangat bermanfaat karena memberi banyak pengetahuan sekaligus motivasi. Salah satu petani bernama Robin Simbolon mengatakan, petani kopi di Simenakhenak kini menjadi paham bahwa keberhasilan kopi yang ditanamnya tidak hanya soal kerja keras tetapi juga ilmu dan pengetahuan petani.
“Kami perlu terus belajar agar kopi kami punya nilai jual tinggi tanpa merusak tanah dan alam,” ujarnya.
Pada hari kedua, dilakukan praktik lapangan melanjutkan materi teori sehari sebelumnya, dipandu oleh Abdul Wahid Harahap. Mulai dari cara membersihkan daun/tanaman kopi yang terlalu rimbun.
Terlalu banyak daun tidak baik untuk tumbuhnya buah kopi karena mengurangi akses sinar matahari masuk ke batang kopi. Selain itu, memangkas cabang yang memutih yang tidak produktif, memangkas tunas serta mengatasi jamur.
Dalam kegiatan ini, juga dihadiri Raja Banggas Rambe, asisten pelatih kopi, Project Officer Green Justice Indonesia, Chandra F.d Silalahi dan Gebi Aprilia Nababan, Mahasiswa magang UIN Syahada Padangsidimpuan, Anwar Hasibuan, Aliansi Masyarkat Adat Nusantara (Marlina Pasaribu) dan local champion petani kopi dari Komunitas MHA Simenakhenak, Robin Simbolon, Andreas Sinambela, Herman Nababan dan Fenju Simanjuntak.
Leave a Comment
You must be logged in to post a comment.