
Mendorong Percepatan MHA Hopong
TAPANULI UTARA, GJI.or.id – Padamnya aliran listrik selama berjam-jam tidak menyurutkan diskusi bersama masyarakat di Dusun Hopong, Desa Dolok Sanggul, Kecamatan Simangumban, Tapanuli Utara, usai berbuka puasa pada Sabtu (22/3/2025).
Diskusi dilakukan dengan penerangan cahaya dari handphone dan senter. Sajian kopi, teh dan camilan sederhana tak menyurutkan semangat. Justru lebih pas karena diselingi suara-suara serangga di pekarangan.
Manajer Program Green Justice Indonesia (GJI), Sofian Adly mengatakan, diskusi ini merupakan kelanjutan dari kegiatan sebelumnya untuk menguatkan masyarakat adat dalam mengelola wilayah secara sah dan berkelanjutan.

“Dengan pengakuan hutan adat, masyarakat adat memiliki peluang untuk mengelola wilayahnya berbasis kearifan lokal yang masih dijalankan, bahkan untuk penelitian, wisata dan lainnya,” katanya.
Dijelaskannya, Hopong memiliki hutan yang berpotensi menjadi hutan adat dengan komunitas adat yang kuat dan wilayah yang relatif bebas konflik.
Hopong juga telah dikenal luas oleh berbagai kalangan akademisi dan lembaga swadaya masyarakat. Namun, hingga kini belum ada kejelasan legal formal terkait pengelolaan wilayahnya.
Berkas pengajuan hutan adat, menurutnya, sempat diserahkan secara simbolik kepada Bupati sebelumnya, namun tidak berlanjut karena pergantian pemerintahan.

Project Officer GJI, Minal Pahri Nasution, menegaskan, Hopong merupakan dusun dampingan pertama GJI sejak awal berdiri.
Diawali dengan upaya memperkuat struktur kelembagaan adat sebagai dasar pengajuan Masyarakat Hukum Adat (MHA).
Sebelumnya, baru 11 orang yang terdaftar sebagai perwakilan antar marga dan masih perlu untuk memperluas dan memperkuatnya agar representasinya menyeluruh.
“Ada 5 skema perhutanan sosial yang diatur pemerintah—hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, kemitraan kehutanan, dan hutan adat. Hanya skema hutan adat yang memberikan hak kelola permanen kepada masyarakat,” katanya.

Sementara skema lainnya bersifat pinjam pakai dan berjangka waktu. Hanya hutan adat yang mengakui hak turun-temurun masyarakat. Oleh karena itu, Hopong sangat layak didorong dalam skema ini.
“Diawali dengan pembentukan struktur masyarakat hukum adat (MHA). Setelah itu kita akan langsung siapkan berkas pengajuan hutan adatnya,” katanya.
Dalam diskusi tersebut, tokoh masyarakat Hopong juga menyampaikan harapan agar pengajuan hutan adat dapat dilanjutkan secara partisipatif dan transparan, serta mencegah pihak luar mengambil alih wilayah adat tanpa sepengetahuan masyarakat.
Diketahui, masyarakat adatdi dusun ini hidup harmonis dengan alamnya. Dusun yang merupakan tempat tinggal marga Siagian Siregar berdampingan dengan habitat orangutan tapanuli dan harimau sumatera.
Masyarakat memiliki tradisi dalam mengelola hutan yang menjadi wilayah kelolanya serta menghormati situs leluhur sebagai kearifan lokal yang tentunya menarik dan menghadapi tantangan di tengah modernisasi dan konflik tenurial.

Beberapa hal menarik dan penting di dusun ini juga masih bisa ditemukan sejumlah patung meizan, diduga situs pekuburan tua yang menjadi warisan sejarah. Selain itu tentang bagaimana tata kelola hutan seperti Tombak Lobu Rao dan Dolok Aek Kopong.
“Di sini kita juga bisa menyelami tentang kepercayaan atau mitologi masyarakat lokal terhadap babiat sitelpang dan sikap mereka terhadap orangutan. Kemudian praktik adat penjaga air atau Panjago Aek dan juga tentang keberadaan pusakaleluhur yakni ogung (gong) Raja Siagian Siregar,” katanya.
Pahri menambahkan, aspek lain yang tak kalah penting untuk diperhatikan adalah tantangan ekonomi dan infrastruktur. Salah satu komoditas yang dikembangkan masyarakat adalah pisang, sebelumnya kemenyan.
“Tantangan lainnya adalah akses infrastruktur, transportasi menuju dusun. Kemudian listrik dan minimnya jaringan telekomunikasi,” katanya.
Leave a Comment
You must be logged in to post a comment.