
Menyoal Masyarakat Adat, Indonesia Kalah Cepat dari Filipina
MEDAN, GJI.or.id – Konstitusi Indonesia mengakui keberadaan masyarakat adat namun implementasinya hingga saat ini masih menghadapi tantangan. Hal itu mengemuka dalam Semiloka Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Sumatera Utara.
Saat berbicara peluang dan tantangan dalam kesempatan itu, pemerhati masyarakat adat Abdon Nababan menjelaskan, pada dasarnya masyarakat adat tidak sedang mencari pengakuan karena konstitusi negara ini sudah mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat.
“Jangan bilang kita tidak diakui negara. Kalau pemerintahnya, mungkin. Jadi, perlu dipahami konsepnya dulu. Tentu ada syaratnya sepanjang masih hidup sesuai perkembangan zaman, tak bertentangan dengan NKRI, sepanjang kita tak berontak angkat senjata, seharusnya kita diakui,” tegasnya, Rabu (26/2/2024).
Disebutkan dalam konstitusi, disebutkan masyarakat adat adalah entitas istimewa dalam negara kesatuan karena memiliki atau masih mewarisi dan melanjutkan susunan asli. Di dalam dirinya otomatis membawa hak asal-usul. Sekarang disebut hak adat.
“Hak adat itu tidak kita terima dari negara.Tidak dari pemerintah. Itu melekat pada diri kita. Jadi itu bukan hak berian. Tapi bawaan,” katanya.
Masyarakat adat memiliki hak untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri sebagai hak asasi manusia dalam Pasal 28I Ayat 3 UUD 1945. Selama 30 tahun terakhir, Abdon sudah keliling dunia membicarakan dan membangun gerakan masyarakat adat global.
Menurutnya, Undang-undang dasar 1945 adalah konstitusi yang paling progresif di seluruh dunia. “Khususnya di negara-negara yang merdeka pasca Perang Dunia II,” katanya.
Abdon membandingkan dengan Filipina. Ada sesuatu yang menarik, karena mendahului Indonesia dalam urusan hak masyarakat adat meski dalam konstitusinya tidak mengaturnya.
“Baru setelah people power, Marcos jatuh, mereka kemudian mengamandemen konstitusinya sehingga di sana ada tentang masyarakat adat, Indigenous Peoples Rights Act,” katanya.
Menurut Abdon, yang terjadi di Indonesia adalah sebuah kelalaian karena founding fathers di Indonesia membangun bangsa ini menempatkan masyarakat adat sebagai pondasi negara bangsa.
“Filipina hanya butuh 10 tahun setelah amandemen konstitusi untuk membuat Undang-Undang Hak Masyarakat Adat. Kita merdeka sudah 70 tahun lebih, belum ada,” kritiknya.
Administrasi yang Lemah dan Konflik Agraria
Salah satu persoalan utama adalah tidak adanya sistem administrasi yang jelas untuk mendata dan mencatat masyarakat adat serta wilayah adat mereka. Hal ini berdampak pada ketidakjelasan dalam perlindungan hukum, terutama dalam konflik agraria.
Di Undang-undang Pokok Agraria mengatakan, khusus untuk masyarakat adat jenis hak yang diberikan adalah hak ulayat. “Jadi hak atas wilayah adat itu disebut hak ulayat. Waktu itu yang banyak membicarakan proses pembentukan negara Republik Indonesia ini kan dari Jawa dan Padang. Ditemukanlah istilah dari Minangkabau yang cocok,” katanya.
Menurutnya, akan berbeda sebenarnya ketika itu berkaitan pada suku Batak, Pakpak, Melayu, Angkola dan lainnya, diperlukan istilah yang sesuai dengan sukunya. Dikatakannya, elemen kunci untuk mengidentifikasi masyarakat adalah ikatan genealogis dan ikatan teritorial.
Jika ada orang datang mengidentifikasi diri sebagai masyarakat adat sebenarnya yang diminta oleh negara adalah dua elemen kunci itu.”Prof. Maria Semardjono. Ini guru sekaligus sahabat saya, teman diskusi. Dia bilang, masyarakat adat itu sudah ada sebelum Indonesia ada.dan sudah ada dan dihormati keberadaan dan hak-haknya, dalam konstitusi UUD 1945. Yang belum ada itu hanya administrasi di pemerintah,” katanya
Begitupun, meski pengakuan keberadaan masyarakat adat sudah tercatat, realitas di lapangan perlindungan dari negara masih dipertanyakan. Dia memberi contoh, jika ada orang atau investor datang tidak permisi atau tidak melalui mekanisme adat, dia tidak boleh masuk.
“Kalau dia masuk, berarti itu perampasan. Jadi itu yang terjadi. tadi. Gak pernah mereka (investor) masuk melalui proses adat. Itu adalah pencurian dengan fasilitasi pemerintah menggunakan peraturan perundang-undangan untuk melanggar hak konstitusional rakyat,” katanya.
Abdon mengingatkan, di lapangan ada ada kelompok yang mengambil keuntungan dari konflik yang terjadi karena suasananya dibuat ‘remang-remang’. “Kalau suasananya remang-remang, paling enak maksiat. Kenapa? Kita bisa ajak juga orang-orang yang mestinya membuat ini terang, untuk menjaga remang-remang, para pejabat. Apalagi para pejabat yang punya kepentingan dengan perizinan. Karena yang akan mereka lakukan adalah transaksi. Bawah meja kira-kira,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua DPRD Sumut, Sutarto mengatakan, pihak ya berkomitmen untuk mendorong Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Masyarakat Adat masuk dalam Program Legislasi Daerah (Prolegda) 2025-2026 karena sudah tertunda sejak 2017.
“Ketika mulai aktif di DPRD, saya menemukan bahwa Ranperda tentang masyarakat adat sudah masuk dalam pembahasan sejak 2017. Saya menghubungi Ibu Sarma Hutajulu, yang saat itu bertugas di Komisi A DPRD Sumut dan terlibat dalam penyusunan Ranperda ini,” katanya.
Sutarto mengatakan, Ranperda itu sudah disusun dan pernah dibahas di Komisi A DPRD Sumut dan masuk di Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bamperda). Hanya saja, prosesnya berhenti sebelum tahap paripurna sebagai inisiatif DPRD.
“Padahal, Naskah Akademik (NAK)-nya sudah ada dan disusun oleh institusi akademik yang berwenang. Ini berarti prosesnya belum berlanjut ke tahap pembahasan lebih lanjut, termasuk uji publik,” ujarnya.
Dikatakannya, dia berharap agar NGO, akademisi dan masyarakat adat terlibat dalam pembahasan Ranperda ini. Menurutnya, Ranperda itu harus merepresentasikan kebutuhan masyarakat adat.
Apalagi, di tingkat nasional, bagaimana KLHK, Kementrian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional memandang masalah ini. Misalnya, BPN berwenang menerbitkan sertifikat tanah dan KLHK melarang keluar ya sertifikasi di kawasan hutan lindung.
“Sebagai Wakil Ketua DPRD, saya berkomitmen untuk melanjutkan proses ini. Namun, mengingat DPRD adalah lembaga politik, diperlukan komunikasi dan konsensus dengan berbagai pihak agar pembahasan Ranperda ini dapat berlanjut,” katanya.
Hal tersebut menurutnya harus didudukkan sehingga masyarakat mendapatkan kejelasan atau kepastian hukum. Sutarto mengajak semua pihak untuk berkontribusi dalam memberikan masukan dan memperkuat advokasi agar Ranperda ini bisa masuk dalam Prolegda 2025-2026.
“Dan akhirnya menjadi Perda yang benar-benar melindungi hak-hak masyarakat adat di Sumatera Utara,” ujarnya.
Diketahui, Seminar dan Lokakarya ini digelar Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), Working Group ICCA Indonesia (WGII) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Tano Batak selama tiga hari di Medan.
Leave a Comment
You must be logged in to post a comment.