Nelayan Tradisional di Tengah Badai Perubahan Iklim
LANGKAT, GJI.or.id – Perubahan iklim telah menjadi ancaman serius bagi kelangsungan hidup nelayan tradisional di berbagai belahan dunia. Dampaknya tidak hanya dirasakan pada ekosistem laut, tetapi juga pada kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat pesisir, terutama nelayan yang menggantungkan hidup dari hasil laut. Di tengah perkembangan yang cepat ini, nasib para nelayan tradisional semakin terpukul, meninggalkan mereka dalam keadaan rentan dan tidak pasti.
Namanya Sulaiman. Dia lahir dan besar di Desa Kwala Besar, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Di usianya menginjak 35 tahun, dia sudah melihat banyaknya perubahan yang terjadi selama ini. Ayahnya seorang nelayan yang dulunya mencari ikan di perairan pinggir. Sedangkan ibunya, berjualan di rumah. Dia memerhatikan hasil tangkapan ayahnya yang semakin sedikit. Berbeda jauh dibandingkan 10 tahun lalu. “Dulu, tak harus jauh nyari ikan, di pinggiran sini aja bisa dapat banyak,” katanya menunjuk ke arah perahunya, 3 meter di depannya.
Ayahnya meninggal 3 tahun lalu. Kini dia menjadi tulang punggung keluarga dengan 2 adiknya yang putus sekolah tingkat menengah. Dengan perahu peninggalan ayahnya, dia pun tak bisa berbuat banyak karena motornya kecil. Perahu itu hanya mampu menyisir perairan pinggiran yang mana populasi ikan, udang, kepiting dan tangkapan lainnya semakin kecil. Dia tak tahu apa penyebabnya. “Entah kenapa bisa begitu. Dulu ayah bisa pigi pagi sore pulang, hasilnya dapat lah Rp 300 – 400 ribu, sekarang ini, ampun lah,” katanya.
Dia lalu menjelaskan, beberapa Waktu lalu ada sekelompok mahasiswa dosen dari universitas di Medan menyatakan bahwa persoalan yang kini dihadapi oleh nelayan tradisional adalah salah satu dampak perubahan iklim. Dia mengaku tidak begitu mengikuti pembahasan mereka di kampung dengan beberapa warga. Dia hanya tahu bahwa jika mengingat masa kecil memang ada banyak perubahan di sekitar. Mulai dari berkurangnya hutan mangrove, cuaca yang semakin tidak menentu.
Di banyak riset yang sudah dipublikasikan disebutkan bahwa suhu laut yang meningkat adalah salah satu dampak langsung dari perubahan iklim. Ini menyebabkan pergeseran pola migrasi ikan dan penurunan populasi spesies tertentu di perairan tertentu. Para nelayan tradisional yang bergantung pada pengetahuan turun-temurun untuk menentukan lokasi penangkapan ikan, kini kesulitan menemukan sumber daya laut yang memadai.
Selain itu, perubahan iklim juga memicu kenaikan intensitas bencana alam seperti badai dan siklon tropis. Nelayan tradisional dengan peralatan yang terbatas dan kapal yang relatif kecil menjadi sangat rentan terhadap kerusakan dan bahaya di laut. Bencana seperti ini tidak hanya mengancam keselamatan fisik mereka tetapi juga menyebabkan kerugian ekonomi yang serius karena kehilangan peralatan dan hasil tangkapan.
“Soal hasil tangkapan, kayaknya semua nelayan tradisional mengalaminya. Turun drastic. Entah gimana masa depan kami kalau begini terus,” katanya.
Tidak hanya itu, asam laut yang meningkat akibat peningkatan kadar karbon dioksida dalam atmosfer juga berdampak buruk pada kehidupan laut. Organisme seperti terumbu karang, yang penting bagi ekosistem laut dan sebagai tempat penangkapan ikan, mengalami degradasi yang signifikan. Ini berdampak langsung pada hasil tangkapan nelayan tradisional yang biasanya bergantung pada keberadaan ekosistem terumbu karang.
Perubahan iklim juga menyebabkan naiknya permukaan air laut, mengancam keberlangsungan pemukiman nelayan di wilayah pesisir. Banyak nelayan tradisional yang tinggal di daerah pesisir terpencil dan terbatas, yang rentan terhadap banjir rob dan intrusi air laut. Hal ini memaksa mereka untuk mempertimbangkan pindah ke tempat lain, mengubah gaya hidup dan mata pencaharian mereka secara signifikan.
“Kata orang memang rezeki tak akan berhenti sampai mati. Tapi terus terang, ini nelayan sudah sekarat. Hasil tangkapan ini hanya untuk menyambung hidup hari ke hari. Untuk kaya, gak bisa lah dari sini,” ungkapnya.
Dalam menghadapi tantangan ini, banyak komunitas nelayan tradisional berjuang untuk bertahan hidup. Mereka mencari solusi seperti diversifikasi mata pencaharian, seperti menanam rumput laut atau beternak ikan, untuk mengurangi ketergantungan pada hasil tangkapan laut yang semakin berkurang. Namun, upaya seperti ini sering kali memerlukan modal dan pengetahuan tambahan yang tidak semua nelayan tradisional miliki.
Nelayan lainnya bernama Sangkot (42). Ayah 1 anak ini juga sudah sejak remaja sudah mencari ikan bersama orang tua dan teman-temannya. Dia bahkan pernah ikut kapal nelayan milik tauke di Belawan selama 2,5 tahun. Belum setahun ditinggalkannya Kembali kampungnya dengan perahu kecil milik sendiri agar tidak jauh anaknya yang masih bayi. Sangkot berharap ada pihak berkompeten turut andil menyelesaikan masalah nelayan.
“Saya rasa masih bisa kita berharap kepada pihak luar. Mau pemerintah atau siapapun lah yang bisa bantu kita. Perhatikan lah kami yang di pinggiran ini. Kami cuma bisa melaut. Gimana pun kondisinya terpaksa diterima. Kami mau pemerintah turun melihat dan berbuat untuk kami,” katanya.
Dia yakin bahwa pemerintah dan organisasi non-pemerintah juga berperan dalam membantu nelayan tradisional menghadapi perubahan iklim. Program bantuan seperti pelatihan tentang praktek tangkap yang berkelanjutan, pemberian peralatan tangkap yang ramah lingkungan, dan asuransi untuk melindungi dari kerugian akibat bencana alam dapat memberikan bantuan penting bagi kelangsungan hidup mereka.
Namun, tantangan tetap besar dalam mengatasi dampak perubahan iklim pada nelayan tradisional. Dibutuhkan kerjasama lintas sektor, termasuk ilmu pengetahuan, pemerintah, dan masyarakat sipil, untuk mengembangkan strategi yang efektif dalam menghadapi masalah ini. Penting bagi semua pihak untuk bekerja sama dalam perlindungan lingkungan laut dan memberikan dukungan yang diperlukan kepada komunitas nelayan tradisional agar mereka dapat bertahan dan berkembang di tengah perubahan yang tidak terelakkan ini.
Leave a Comment