Pembelajaran dalam Aksi Tolak Tambang Emas di Aceh
ACEH, GJI.or.id – Keberhasilan masyarakat menolak kehadiran tambang emas PT Energi Mineral Murni tidak bisa dilepaskan dari bergeraknya semua elemen masyarakat di tingkat tapak hingga kampanye di tingkat nasional. Begitupun peran tokoh yang menjadi panutan masyarakat sangat penting. Hingga kini, masyarakat tetap menolak munculnya tambang emas yang baru. Pengalaman menjadi pembelajaran yang baik bagi masyarakat untuk mempertahankan wilayahnya dari kerusakan akibat tambang.
Deputi Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, Nasir Bulloh mengatakan, Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang membentang seluas 2,6 juta hektare dari Aceh hingga Sumatera Utara kaya dengan keanekaragaman hayati. Di dalamnya ada Taman Nasional Gunung Leuser, Suaka Margasatwa Ketambe, Suaka Margasatwa Singkil, Hutan Lindung Leuser Timur, dan Hutan Produksi Terbatas Gunung Leuser.
Keanekaragaman hayatinya sangat tinggi dan dianggap sebagai salah satu wilayah hutan hujan tropis terbesar di Asia Tenggara. Penebangan liar, perburuan satwa, alih fungsi untuk pertanian, tambang emas seluas 10.000 hektare di Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang, Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Tengah. Perusahaan tersebut mendapat Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi berdasarkan Surat Keputusan Kepala BKPM Nomor 66/I/IUP/PMA/2017 tertanggal 19 Desember 2017.
Walhi Aceh, turun mendampingi warga di Beutong Ateuh Banggalang pada 2018. Saat itu, masyarakat sudah lebih dahulu menghimpun diri melakukan penolakan terhadap tambang emas itu. Dikatakannya, langkah pertama dibangun adalah komitmen dengan warga. Sebenarnya, lanjut Nasir, warga yang lebih dulu mempertanyakan komitmen Walhi. Dia menjelaskan bahwa Walhi siap berada di barisan warga kalau tambang.
“Kemudian Abu (Tengku Malikul Aziz) menanyakan sikap Walhi siap berjuang sampai kapan batasnya. Saya bilang kalau secara hukum kita akan tunggu sampai posisi terakhir hukum sampai dengan PK (peninjauan kembali). Secara pengetahuan dan pendidikan, itu sampai kapan warga masih butuh Walhi. Kemudian kita declare komitmen bahwa Walhi bersama warga,” katanya.
Dari situ kemudian secara bersama-sama menyusun apa yang menjadi alasan warga menolak. Saat itu muncul banyak alasan yang akhirnya diputuskan ada 11 alasan, mulai dari masalah sungai, hutan, sejarah Tjut Nyak Dien dan lain sebagainya.
Selanjutnya, bersama warga juga memperkuat data di masing-masing alasan misalnya kekhawatiran hilangnya sawah, maka ada upaya menghitung luas sawah di Beutong menggunakan data statistik. Kemudian untuk menyelematkan hutan, dimulai dari melihat status kawasan. Begitu juga dengan sungai, mulai dari berapa debit air, menggunakan data sekunder. Dari situ kemudian dibuat legal opinion (LO) yang di dalamnya itu termuat semua narasi-narasi, kebutuhan-kebutuhan data dan alasan masyarakat menolak tambang.
“Kemudian begitu kita persentasikan kepada masyarakat terkait dengan 11 alasan itu masyarakat terima dan kita sepakati bahwa siapapun yang masuk Beutong siapapun yang ingin berjuang di masyarakat tolak tambang, mereka harus bawa isu yang ada. Kalau ada organisasi yang fokus di satu atau dua isu, ambil pilihan diantara 11 yang intinya kita kunci tidak boleh keluar dari 11 isu itu, itu untuk mencegah isunya menjadi liar,” katanya.
Dalam segi kampanye, ada 4 simpul yang dibangun. Mulai dari tingkat masyarakat, kabupaten, privinsi hingga nasional. Di tingkat lokal, ada Gerakan Beutong Ateuh Banggalang (GBAB) yang secara legalitas kelembagaan serta pengetahuan kapasitasnya diperkuat. Begitupun di tingkat kabupaten, ada Koalisi Masyarakat Bersatu Tolak Tambang. Kemudian di tingkat provinsi ada Barisan Pemuda Aceh (BPA). Di dalamnya ada mahasiswa, organisasi mahasiswa paguyuban dan lainnya.
“Posisi Walhi di mana, posisi kami pada gugatan hukum. Segala proses dinamika yang terjadi persidangan semuanya itu Walhi yang mengkampanyekan. Di level nasional kami minta bantu Walhi Nasional, KontraS. Di sana untuk kawan-kawan masyarakat sipil untuk mengkampanyekan secara nasional. Kami yakin, percaya betul bahwa pola simpul koordinasi seperti ini yang menjadi salah satu penyebab tidak ada korban apakah itu masyarakat atau mahasiswa yang beraksi,” katanya.
Walhi juga menyepakati perjuangan ini adalah bahwa kerja besar. Tidak akan selesai dalam waktu satu atau dua bulan melainkan tahunan. Dan terbukti, dimulai dari 2018 sampai 2022, 4 tahun baru inkrah. “Memang posisi lelah akhirnya kita sepakati bahwa siapapun yang ingin membantu, kita jangan pelit panggung. Kasih saja panggung misalnya mendekati pemilu, silakan, selama tidak keluar dari 11 poin itu. Jadi semua masyarakat sipil mahasiswa LSM semua punya porsi mendapatkan porsi kampanye, baik kepentingan lembaga maupun isu mereka,” katanya.
Sampai saat ini Walhi Aceh terus bersama warga. Memberi pendampingan dari anak kecil hingga orang dewasa. Masuk ke lembaga-lembaga pendidikan dengan memberikan pemahaman mulai dari bagaimana mengelola sampah, menjaga sungai dan lainnya. Membangun silaturahmi dengan masyarakat menurutnya adalah jalan yang paling efektif. Ditambah lagi dengan soliditas masyarakat, mahasiswa dan semua elemen yang mendukung gerakan secara langsung, serta pengacara yang loyal.
Dia mencontohkan beberapa waktu lalu saat berunjuk rasa di DPR Kabupaten Nagan Raya. Tidak semua masyarakat yang bisa hadir dan sementara biayanya tidak sedikit. Akhirnya masyarakat mengumpulkan beras. Jadi satu rumah itu menyumbangkan beras yang saat terkumpul semuanya dapat 5 karung besar yang dijual kemudian menjadi logistik untuk BBM konsumsi dan lain sebagainya.
Menurutnya, punya tanggung jawab bersama itu merupakan pembelajaran dalam kondisi Aceh saat ini yang sulit ditemukan. “Kemudian, salah satu faktor penyebab berhasilnya gerakan kita karena ada ketokohan yang dijadikan warga sebagai panutan jadi kita hanya satu pintu. Kalau misalnya sudah titah dari Abu sepertinya sampai anak kecil tidak berani bantah. Mungkin di daerah lain sulit mendapatkan yang tokoh kunci seperti itu. Akhirnya kami anggap juga kerja lebih mudah rasa bagi kami masuk ke Beutong, beliau juga secara keagamaan dan gerakan juga kuat sehingga menjadi panutan,” katanya.
Menyoal Tata Ruang
Dikatakannya, terdapat Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) nomor 86 tahun 2021 terkait dengan wilayah pertambangan Aceh, di dalamnya menyebut bahwa yang tidak termasuk wilayah pertambangan adalah kawasan konservasi, taman hutan raya di Aceh Besar, kota Banda Aceh dan kota Sabang. Di luar itu semua wilayah tambang.
“Jadi investor, si perusahaan secara syarat pertama dia sudah dapat di manapun ingin diusulkan untuk tambang sudah berada di wilayah tambang,” katanya.
Dalam konteks tata ruang, lanjut Nasir, jika hal tersebut tidak diselesaikan oleh pemerintah Aceh, maka di manapun tata ruang disusun akan tetap tumpang tindih karena semua wilayah tambang. Sehingga pihaknya mendorong revisi Keputusan Menteri ESDM tersebut dalam konteks tata ruang. Kemudian, lanjut Nasir, Mahkamah Agung, terkait dengan PT EMM, salah satu pertimbangan yang diambil adalah menyatakan bahwa secara tata ruang Beutong Ateuh Banggalang disebutkan sebagai wilayah rawan bencana gempa, banjir, gerakan tanah dan lainnya.
“Itu menjadi klausul, pertimbangan-pertimbangan Mahkamah Agung. Dianggap sebagai kehadiran PT EMM ini tidak sesuai dengan tata ruang jadi selama statusnya kawasan rawan bencana di Beutong, masih ditetapkan dalam tata ruang dan kami kawal betul, maka siapapun perusahaan manapun yang ingin masuk dia tetap berada di status itu,” katanya.
Nasir melanjutkan, begitu ada informasi muncul tambang baru, pihaknya tidak begitu khawatir khawatir dalam konteks hukum karena ada jurisprudensi dengan putusan Mahkamah Agung yang mengalahkan PT EMM. Putusan Mahkamah Agung itu, lanjutnya, tidak mempersoalkan terkait terkait dengan cacat administrasi proses perizinan tetapi melihat substansi bahwa Beutong berada di KEL dan kawasan rawan bencana, ada makam sejarah para aulia, maka tambang emas tidak akan bisa bisa masuk.
“Meskipun usulan perusahaan yang baru ini berada di luar eks izin PT EMM, di areal penggunaan lain (APL). Tapi kita tidak melihat di APL-nya, kita melihat konteks hukumnya yang secara yudisprudensi sudah ada tiga substansi dan tidak bisa dipaksakan,” katanya.
Menurutnya, hal lain yang perlu dilihat adalah bahwa ada pemukiman penduduk yang bakal terdampak jika tambang emas beroperasi. Pemukiman penduduk itu dikelilingi lahan produktif dan juga ada Daerah Aliran Sungai (DAS) Meureubo yang melintasi Aceh Tengah, Nagan Raya dan Aceh Barat sebagai gilirnya.
Anggota Komisi IV, DPR Aceh, Abdurrahman Ahmad mengatakan, keberadaan masyarakat di dalam KEL masih dibahas dalam rencana tata ruang. Sebagaimana diketahui, di dalam kawasan itu ada masyarakat yang secara turun temurun tinggal dan hidup dan menggantungkan mata pencahariannya dari kebunnya. Pengelolaan KEL selama ini berada di pusat. Karena itu, membahas tentang keberadaan masyarakat dalam kaitannya tata ruang adalah sangat penting untuk melindungi agar tidak menjadi korban.
“Daripada masyarakat menjadi korban lebih baik kita keluarkan dari KEL, jadilah itu kawasan yang dikontrol oleh pemerintah Aceh bukan pemerintah pusat kalau memang ini tidak bisa diselesaikan. (karena) pasti masyarakat akan berada pada pihak yang kalah yang namanya masyarakat awam dia pasti tidak bisa berbuat banyak,” katanya.
Pihaknya sepakat bahwa KEL memiliki peran sangat penting bagi dan karenanya disebut sebagai paru-paru dunia. Keberadaannya juga harus dijaga agar tidak berubah menjadi gersang seperti yang terjadi di Afrika. Pembahasan rencana tata ruang ini menurutnya tidak boleh buru-buru karena harus mendapatkan masukan yang penting dari banyak pihak. Begitupun pihaknya selalu terbuka dalam hal ini. “Karena ini kita membahas tentang hal besar, tidak hanya soal menjaga hutan tetapi masyarakat yang ada dan hidup di situ,” katanya.
Leave a Comment