Masyarakat Tetap Menolak, Tak Ada Tempat Bagi Tambang Emas Beutong Ateuh Banggalang
ACEH, GJI.or.id – Suasana begitu terik pada Jumat (23/6/2023) pagi di Desa Blang Meurandeh, Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang, Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh. Gemericik Sungai Meureubo beradu dengan suara tawa anak-anak yang bermainair di bebatuan kali. Di desa ini, ‘api perlawanan’ terhadap tambang emas masih terus berkobar. Bagi mereka, tambang emas adalah ‘neraka’ yang harus dilawan meski nyawa melayang.
Adalah Fatimah, seorang tokoh perempuan di Beutong Ateuh Banggalang. Dia menjadi salah satu motor penggerak aksi besar penolakan terhadap tambang emas PT Emas Mineral Murni (EMM) pada 2018. Sikapnya tak pernah berubah sampai sekarang.
Menurutnya, siapapun yang datang untuk merusak hutan, tanah, air dan lingkungan serta masyarakat Beutong Ateuh Banggalang akan mendapat perlawanan yang tak terkira. “Selain karena itu, di sini ada sejarah. Kampung adat. Jadi nenek moyang kami itu ada di sini. Kuburan para aulia, ulama, syuhada, kubur pindah pun. Jejak Tjut Nyak Dien juga ada. Walaupun terbang nyawa kami, kami tetap menolak,” ujar putri dari ulama besar, Tengku Bantaqiah.
Fatimah menegaskan tambang emas tidak akan memberi apapun kecuali kesengsaraan. Tidak ada sejarahnya masyarakat sekitar pertambangan sejahtera. Peningkatan ekonomi akibat pertambangan emas menurutnya adalah tipu daya agar upaya mengeruk kekayaan alam terlaksana dengan lancar. Hanya segelintir orang yang mendapatkan manfaat. Di saat yang sama, terutama masyarakat kecil yang mendapatkan malapetaka.
“(Kesejahteraan) Itu bohong. Semua itu hanya nipu-nipu masyarakat. Di manapun berada orang bisa lihat termasuk Itu di Papua apa yang ditinggalkan ke masyarakat, abu, semua penderitaan yang ditinggalkan. Apalagi yang ditinggal. Kuburan kuburan pun dicongkel kami tidak mau. Kami tetap dengan pendirian kami walaupun kami mati,” katanya.
Dikatakannya, masyarakat tidak bodoh. Untuk menjadi sejahtera, masyarakat sama sekali tidak membutuhkan tambang emas. Masyarakat selama ini bisa hidup dengan damai dan sejehtera dari alam seperti sawah, kemiri, cabai, serai, nilam, durian dan lain sebagainya. Alam sudah memberikan banyak manfaat kepada semua makhluk dan karenanya harus dijaga dari aktifitas yang bisa merusak.
“Beutong Ateuh ini ibarat surga. Semua ada di sini untuk hidup. Padi, sayuran tak perlu pakai pupuk, tinggal petik, ikan tinggal ambil di sungai. Sementara tambang itu ibarat menggali neraka, makanya kami tak mau mati di lubang tambang. Tak mungkin kami mau menukar surga jadi neraka lewat tambang. Dan perlu diketahui, perjuangan kita bukan untuk masyarakat di sini saja, tapi juga untuk masyarakah lainnya,” katanya.
Senada yang diungkapkan Ketua Generasi Beutong Ateuh Banggalang (GBAB), Zakaria. Pihaknya menolak semua bentuk pertambangan emas baik legal ataupun ilegal. Dikatakannya, masyarakat sudah berhasil menolak PT Emas Mineral Murni namun kini muncul satu perusahaan tambang emas lainnya di lokasi berdekatan. “Banyak alasan untuk menolak hadirnya tambang emas dan kami tetap komit untuk tetap mempertahankan ini,” katanya.
Terkait dengan gugatan tersebut, ada seorang tokoh penggerak bernama Tengku Diwa. Dia memberi kesaksian dalam beberapa persidangan. Salah satu hal yang disampaikannya ketika bersaksi yakni ada kuburan aulia yang berpindah. Kuburan itu berada di dalam konsesi perusahaan tambang itu.
“Hal yang sakral kan kita lindungi dengan baik itu satu tempat yang tidak boleh diganggu gugat. Apalagi itu makamnya. Mulanya tidak ada. Orang perusahaan sendiri, begitu dia survei hari pertama nggak ada, ada waktu disurvei ulang ternyata sudah ada di situ. Bukan kuburan baru. Kalau baru kan ketahuan, ini memang sudah kayak sudah ratusan tahun,” katanya.
Menurutnya, apa yang diperjuangkan masyarakat dengan menolak tambang emas adalah untuk mempertahankan martabat sebagai manusia. Ada tokoh yang menyatakan rela membuka baju demi mempertahankan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), gajah, orangutan, badak, harimau dan lainnya, maka yang diperjuangkan saat ini adalah manusia di Beutong Ateuh Banggalang. “Ini manusia satu kecamatan. Di situ sejarah tempat para aulia, para syuhada, dan lainnya,” katanya.
Dia heran ketika ada izin yang dikeluarkan untuk tambang emas yang diduga akan menggeser masyarakat, situs sejarah, kuburan para aulia, alim ulama, dan syuhada serta penghidupan masyarakat yang sudah turun temurun di Beutong Ateuh Banggalang. “Kan wajar kami bergerak mempertahankan martabat kami. Makanya saya pernah juga katakan sekarang kami menuntut secara kemanusiaan kami,” katanya.
Dikatakannya, dasar penolakan tambang emas adalah untuk kepentingan bersama dan lintas generasi. Kerusakan yang diakibatkan tambang emas akan dirasakan oleh banyak orang. Tidak hanya di Beutong Ateuh Banggalang. Bahkan dimungkinkan dampak parah dari limbah justru akan dirasakan oleh masyarakat yang berada di Aceh Barat. Begitu sudah rusak akibat tambang emas, memperbaikinya sangat sulit, bahkan mustahil.
“Jadi bukan hanya untuk kepentingan kami pribadi dan bukan untuk generasi kami tetapi untuk sekian generasi yang akan datang pada perkembangan anak-anak cucu kita makanya setelah kami mengetahui bahwa akibat-akibat yang dilakukan Ini menimbulkan kerugian yang berkepanjangan,” katanya.
Pimpinan pesantren tradisional yang menjadi panutan masyarakat, Tengku Malikul Aziz mengatakan, menolak tambang emas adalah harga mati. Tidak ada negosiasi lagi. Menurutnya, tidak mungkin menghilangkan sejarah peradaban karena di sini banyak sejarah yang belum terkuak. Daerah ini merupakan tanah pusaka Kerajaan Beutong yang bersamaan dengan Kerajaan Sultan Iskandar Muda. Kampung ini, lanjutnya, juga merupakan benteng terakhir Tjut Nyak Dien mempertahankan negeri ini.
“Kalau NKRI harga mati, kami Beutong juga harga mati. Nggak ada negosiasi untuk tambang. Walaupun ancaman apapun siap kita terima. Daripada putih mata, lebih baik putih tulang. Daripada mati di negeri orang lebih baik mati di negeri sendiri,” katanya.
Dikatakannya, masyarakat menolak tambang karena pilihannya sendiri. Bahwa yang dipertahankannya dari tambang adalah rumah dan tanahnya sendiri. Dirinya juga sebagai orang yang memiliki rumah dan tanah serta hubungan tidak terpisahkan dengan sejarah, tak akan bisa berdiam diri. “Akan terus menolak (tambang) karena kan yang kita tolak bukan pemerintah tapi penjajah. Kalau pemerintah nggak mungkinlah menjajah rakyat. Saya tetap mempertahankan daerah selama masih hidup,” katanya.
Selama ini tak sedikit iming-iming jika mau menerima tambang namun dia tetap kukuh menolak. Menurutnya, tidak penting banyak uang jika dianggap pengkhianat. Daripada menjadi pengkhianat, lebih baik mati seperti kata pepatah hilang satu tumbuh seribu. “Komitmen kami mempertahankan bukan sekedar ngomong. Demi Allah, demi Rasulullah demi agama Islam, demi Beutong, kami siap mati,” katanya.
Dia menegaskan, siapapun yang merusak bumi akan dilenyakpan oleh bumi. “Saya berdoa pas sujud itu, ya Allah barangsiapa yang mau menghancurkan Beutong dilaknat, dimatikan. Maka ketika kita menang di persidangan itu semua hasil daripada doa dan dukungan para aulia maka dari pihak perusahaan jangan pernah mencoba-coba melobi lagi,” katanya.
Deputi Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, Nasir Bulloh mengatakan, Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang membentang seluas 2,6 juta hektare dari Aceh hingga Sumatera Utara kaya dengan keanekaragaman hayati. Di dalamnya ada Taman Nasional Gunung Leuser, Suaka Margasatwa Ketambe, Suaka Margasatwa Singkil, Hutan Lindung Leuser Timur, dan Hutan Produksi Terbatas Gunung Leuser.
Keanekaragaman hayatinya sangat tinggi dan dianggap sebagai salah satu wilayah hutan hujan tropis terbesar di Asia Tenggara. Penebangan liar, perburuan satwa, alih fungsi untuk pertanian, tambang emas seluas 10.000 hektare di Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang, Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Tengah. Perusahaan tersebut mendapat Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi berdasarkan Surat Keputusan Kepala BKPM Nomor 66/I/IUP/PMA/2017 tertanggal 19 Desember 2017.
Walhi Aceh, turun mendampingi warga di Beutong Ateuh Banggalang pada 2018. Saat itu, masyarakat sudah lebih dahulu menghimpun diri melakukan penolakan terhadap tambang emas itu. Dikatakannya, langkah pertama dibangun adalah komitmen dengan warga. Sebenarnya, lanjut Nasir, warga yang lebih dulu mempertanyakan komitmen Walhi. Dia menjelaskan bahwa Walhi siap berada di barisan warga kalau tambang.
“Kemudian Abu (Tengku Malikul Aziz) menanyakan sikap Walhi siap berjuang sampai kapan batasnya. Saya bilang kalau secara hukum kita akan tunggu sampai posisi terakhir hukum sampai dengan PK (peninjauan kembali). Secara pengetahuan dan pendidikan, itu sampai kapan warga masih butuh Walhi. Kemudian kita declare komitmen bahwa Walhi bersama warga,” katanya.
Leave a Comment