Mengenal Kawasan Ekosistem Leuser, Begini Potensi dan Ancamannya
ACEH, GJI.or.id – Umumnya orang ketika mendengar nama Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) akan teringat pada hutan lebat, keanekaragaman hayati, Gunung Leuser, paru-paru dunia dan lain sebagainnya. Kawasan ini memang kaya. Terbentang dari Provinsi Aceh hingga Sumatera Utara. Sebagai wilayah hutan hujan tropis, kawasan ini juga tak luput dari permasalahan.
Luasnya membentang hingga 2,6 juta hektare, termasuk di dalamnya Taman Nasional Gunung Leuser, Suaka Margasatwa Ketambe, Suaka Margasatwa Singkil, Hutan Lindung Leuser Timur, dan Hutan Produksi Terbatas Gunung Leuser. Keanekaragaman hayatinya sangat tinggi dan dianggap sebagai salah satu wilayah hutan hujan tropis terbesar di Asia Tenggara.
Sejumlah spesies dilindungi di dalam kawasan ini di antaranya harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus), orangutan sumatera (Pongo abelii). Luasnya bentang alam sehingga memiliki hutan dataran rendah, hutan pegunungan, dan lahan basah.
Dalam keterangan tertulisnya, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Aceh, Nasir Bulloh mengatakan, ada banyak tantangan serius yang dihadapi KEL. Mulai dari penebangan/perambahan liar, perburuan satwa, dan alih fungsi untuk pertanian dan lain sebagainya. Aktifitas ilegal yang merusak tersebut dapat mengancam keberadaan satwa di dalamnya.
Lebih dari itu dapat mengganggu keseimbangan alam dan dampaknya akan sangat dirasakan masyarakat sekitar misalnya dalam hal ketersediaan air. Begitu juga dengan perburuan satwa dilindungi untuk mendapatkan daging, kulit, tanduk gading, atau bagian tubuh lain dari hewan langka yang dilindungi, seperti harimau sumatera, gajah sumatera, dan orangutan sumatera.
Ada 2 persoalan yang menurutnya penting untuk ketika membicarakan KEL. Pertama tentang tambang emas seluas 10.000 hektare di Kecamatan Beutong, Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Tengah oleh perusahaan asing yang mendapatkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi berdasarkan Surat Keputusan Kepala BKPM Nomor 66/I/IUP/PMA/2017 tertanggal 19 Desember 2017.
Kedua, pembangunan mega proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tampur – 1 yang berkapasitas produksi 443 MW, di Desa Lesten, Kabupaten Gayo Lues, juga oleh perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA), akan menggunakan area seluas ± 4.407 ha, yang terdiri dari Hutan Lindung (HL) 1.729 ha, Hutan Produksi (HP) 2.401 ha, dan Area Penggunaan Lain (APL) 277 ha.
Dijelaskannya, izin tambang emas tersebut diberikan untuk jangka waktu 20 tahun berada dalam Area Penggunaan Lain (APL) 3.620 ha, Hutan Lindung (HL) dan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) 6.380 ha. Kegiatan eksporasinya dimulai tahun 2006 berdasarkan SK Bupati Nagan Raya Nomor 545/68/KP-EKSPLORASI/2006 tentang Pemberian Kuasa Pertambangan Eksplorasi, diberikan selama 3 tahun.
“Kemudian dilakukan pembaharuan pada tahun 2010 berdasarkan SK Bupati Nagan Raya Nomor 545/22/SK/IUP-Ekspl/2010 tentang Persetujuan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi Kepada PT. Emas Mineral Murni, tertanggal 11 Januari 2010,” katanya.
Pihaknya menemukan kejanggalan dalam usaha pertambangan mineral murni tersebut. Menurutnya, luas area pertambangan dan lokasi usaha sebagaimana tersebut dalam IUP Operasi Produksi PT. EMM tidak sesuai dengan AMDAL dan Izin Lingkungan. Sejak Maret 2013, masyarakat Beutong Banggalang, Kabupaten Nagan Raya sudah menyampaikan penolakan.
Sikap penolakan oleh masyarakat itu ditunjukkan dengan menyurati Bupati Nagan Raya dna Gubernur Aceh. Surat itu ditandatangani Geuchik Blang Puuk, Tuha Peut Blang Puuk, Geuchik Blang Meurandeh, Tuha Peut Blang Meurandeh, Geuchik Kuta Tengoh, Tuha Peut Kuta Teungoh, Geuchik Babah Suak, Tuha Peut Babah Suak, Ketua Pemuda Blang Puuk, Ketua Pemuda Blang Meurandeh, Ketua Pemuda Kuta Tengoh, Ketua Pemuda Babah Suak, dan Pj. Mukim Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang.
“Walhi Aceh melakukan invetigasi pada lokasi pertambangan emas PT. EMM, hasil investigasi ditemukan informasi dan fakta lapangan jika PT. EMM melakukan pertambangan di Beutong Ateuh Banggalang maka akan berdampak serius terhadap kualitas air dan fisik sungai Krueng Mereubo, dimana terdapat sekitar 9 Km Krueng Mereubo berada di lokasi tambang,” katanya.
Dikatakannya, Sungai Krueng Mereubo merupakan sumber air bagi masyarakat di Nagan Raya dan Aceh Barat untuk kebutuhan rumah tangga, sumber air lahan pertanian sawah dan perkebunan masyarakat serta untuk sumber kehidupan lainnya. Dampa lainnya adalah bencana ekologis seperti banjir dan longsor.
Menurutnya, dampak ini sesuai dengan secara RTRWA, RTRW Kabupaten Nagan Raya, dan RTRW Kabupaten Aceh Tengah, area izin PT. EMM merupakan kawasan rawan bencana. Hal ini juga diperkuat melalui program Kementerian Sosial RI menetapkan Beutong Ateuh Banggalang sebagai Kampung Siaga Bencana (KSB) pada tahun 2018, berdampak terhadap konflik satwa – manusia.
“Area izin PT. EMM merupakan koridor satwa kunci seperti Gajah, Harimau, Badak, dan burung rangkong,” katanya.
Kemudian, hilangnya situs sejarah (tugu Cut Nyak Dhien), makam keramat, dan makam syuhada/ulama Alm Tgk. Bantaqiah beserta muridnya yang merupakan korbon konflik pada 23 Juli 1999 yang berada dalam area izin PT. EMM. “Dampak yang juga harus dilihat adalah terhadap perubahan fungsi kawasan hutan lindung, perubahan iklim, dan hilangnya fungsi paru-paru dunia,” katanya.
Paska investigasi Walhi Aceh, masyarakat Beutong Ateuh Banggalang, Kabupaten Nagan Raya, kembali membuat petisi penolakan tambang PT. EMM. Petisi penolakan tambang PT. EMM ditandangani oleh seluruh masyarakat desa Blang Puuk, Blang Meurandeh, Kuta Tengoh, dan Babah Suak dengan jumlah penandatangan yang disertai dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) berjumlah 1.298 orang atau sekitar 89 % masyarakat jelas dan tegas menolak pertambangan.
“Selain di Beutong Ateuh Banggalang, petisi penolakan juga di tandatangani oleh Reje (Kepala Desa) Beurawang Baro, Arur Badak, dan Wih Ilang Kecamatan Peugasing, Kabupaten Aceh Tengah,” katanya.
Nasir menambahkan, pada tanggal 15 Oktober 2018 pihaknya secara resmi mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) Jakarta menggugat Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) RI atas penerbitan izin operasi produksi PT. EMM dan melaporkan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI, dan laporan kasus dugaan korupsi dalam proses perizinan PT. EMM ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Masyarakat bersama Walhi kalah pada pengadilan tingkat pertama. Kemudian pada 24 Mei 2019, bersama masyarakat Walhi mengajukan memori banding. Dimana sebelumnya pada tanggal 3 Mei 2019 bersama Fakultas Hukum Unsyiah melakukan eksaminasi paska putusan. Putusan banding menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama, dimana masyarakat bersama WALHI kalah. Kemudian dilakukan upaya hukum tingkat kasasi ke Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung mengabulkan tuntutan masyarakat dan Walhi, melalui Putusan Kasasi Nomor 91 K/TUN/LH/2020 telah membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi TUN Jakarta Nomor 192/B/LH/2019/PT.TUN.JKT yang menguatkan Putusan PTUN Jakarta Nomor 241/G/LH/2018/PTUN.JKT. Putusan diterbitkan MA tanggal 14 April 2020.
Paska kemenangan di tingkat kasasi, BKPM RI melakukan upaya hukum lanjutan yaitu Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Pada 1 juli 2021, Mahkamah Agung mengeluarkan putusannya bahwa menolak permohonan PK dari BKPM RI. Artinya, upaya hukum gugatan izin PT. EMM telah mendapatkan putusan hukum inkrah yang dimenangkan oleh masyarakat dan WALHI.
Kemenangan tolak tambang PT. EMM menjadi model gerakan lingkungan dalam kacamata Walhi Nasional, terlebih paska terbitnya Undang-undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Karena gerakan ini mampu mengkolaborasi seluruh sumber daya yang ada baik tingkat lokal maupun nasional.
“Advokasi ini memiliki keseimbangan antara advokasi litigasi dengan non litigasi dengan tingkat keberhasilan yang sama. Seluruh komponen yang tergabung dalam gerakan tolak tambang ini tidak satupun yang tersangkut persoalan hukum (ditangkap, diskriminasi, dll) meskipun dilakukan berbagai aksi massa yang “anarkis” seperti kantor gubernur rusak dan barak, gudang, kantor PT EMM dibongkar massa,” katanya.
Namun, lanjutnya, dibalik kemenangan itu, ada pekerjaan besar lain yang harus dilakukan secara bersama, yaitu mengawal dan memastikan BKPM RI melakukan eksekusi putusan, dan areal eks izin PT. EMM dijadikan untuk apa. “Sejauh ini, sebagai exis strategi dari kemenangan tolak tambang PT. EMM, area eks izin bersama masyarakat akan diusulkan menjadi wilayah adat/hutan desa sehingga masyarakat adat di Beutong berdaulat atas wilayahnya, tapa nada ancaman dari ekspansi industry ekstraktif,” katanya.
Walhi Aceh saat ini sedang memfasilitasi masyarakat untuk mengusulkan Hutan Desa di empat desa yang ada di Beutong. Namun, berbarengan dengan upaya tersebut masuk perusahaan lain yang merencanakan pertambangan emas di Beutong Ateuh Banggalang pada areal seluas 3.305 hektar.
“Meskipun lokasi yang direncanakan pertambangan berada di luar eks izin PT. EMM, namun secara lanskap masih berada dalam lanskap Beutong yang memiliki potensi dan kekayaan biodiversity yang sama seperti pada lokasi eks izin PT. EMM,” katanya.
Sementara itu mengenai mega proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tampur – 1 yang dibangun PT. Kamirzu, bermula dari terbitnya Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), melalui surat Keputusan Gubernur Aceh Nomor 522.51/DPMPTSP/1499/IPPKH/2017 tentang Pemberian Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) Dalam Rangka Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Tampur-I (443 MW) Seluas ± 4.407 Ha Atas Nama PT. KAMIRZU di Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Tamiang, dan Kabupaten Aceh Timur Provinsi Aceh tanggal 09 Juni 2017.
Atas penerbitan IPPKH tersebut, pada 11 Maret 2019, Walhi menggugat Gubernur Aceh ke Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) Banda Aceh, dengan nomor gugatan 7/G/LH/2019/PTUN.BNA, tanggal 11 Maret 2019. Ada 11 alasan gugatan yakni bahwa Gubernur Aceh melampaui kewenangan dalam pemberian izin, PT. Kamirzu tidak menyelesaikan kewajiban hukum yang dibebankan dalam izin, cacat yuridis dalam penerbitan izin, tidak adanya rekomendasi dari Bupati Aceh Timur.
Kemudian tanggal penerbitan izin tidak rasional, izin berada dalam kawasan zona patahan aktif gempa Sumatera, izin berada dalam kawasan ekosistem leuser (KEL), menjadi ancaman terhadap satwa kunci, ancaman terhadap sumber air, dan izin bertentangan dengan azas perundang-undangan, yaitu azas kepastian hukum, dan azas larangan sewenang-wenang.
Dikatakannya, dalam sidang tingkat pertama, Walhi Aceh mengajukan berbagai bukti dokumen, saksi fakta dan saksi ahli, serta hasil sidang lapangan, Pengadilan TUN Banda Aceh mengabulkan gugatan WALHI untuk seluruhnya. Yaitu menyatakan batal dan/atau tidak sah Keputusan Gubernur Aceh Nomor 522.51/DPMPTSP/1499/IPPKH/2017 tentang Pemberian Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Dalam Rangka Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Tampur-I (443 MW) Seluas ± 4.407 Ha Atas Nama PT. KAMIRZU di Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Tamiang, dan Kabupaten Aceh Timur Provinsi Aceh, beserta perubahannya Mewajibkan pihak Tergugat untuk mencabut objek sengketa beserta perubahannya, membayar biaya perkara secara tanggung ranteng.
“Dalam pertimbangan majelis hakim, Gubernur Aceh hanya memiliki kewenangan menerbitkan IPPKH paling banyak 5 hektar. Selain pertimbangan tersebut, majelis hakim juga menyampaikan penerbitan izin dalam KEL juga bertentangan dengan Pasal 150 Undang-undang Pemerintah Aceh,” katanya.
Atas putusan tersebut, Pemerintah Aceh menyatakan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Medan dengan nomor registrasi 264/B/2019 PT.TUN MDN. Dalam putusan banding pada 7 Januari 2020, majelis hakim kembali memenangkan WALHI dengan menguatkan putusan PTUN Banda Aceh.
Kemudian Pemerintah Aceh mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, putusan kasasi juga memenangkan WALHI. PT. Kamirzu selaku Tergugat II mengajukan Peninjaun Kembali (PK) ke Mahkamah Agung, dalam amar putusan yang diterbitkan pada 19 Agustus 2021 Mahkamah Agung menolak PK yang diajukan oleh PT. Kamirzu. Artinya, gugatan ini telah memiliki putusan inkrah memenangkan Walhi.
“Sampai tahun 2022 Walhi selaku penggugat belum mendapatkan informasi terkait pelaksanaan eksekusi putusan dimaksud. Justru mendapatkan kabar bahwa PT. Kamirzu mengurus IPPKH baru di KLHK, juga diduga sedang melakukan kegiatan survey lanjutan di lapangan,” katanya.
Walhi Aceh telah membangun konsolidasi masyarakat sipil Aceh dalam bentuk pernyataan sikap bersama yang ditujukan kepada Presiden RI, Menteri LHK, Gubernur Aceh, dan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh, dikirimkan melalui surat Walhi Aceh nomor: 108/DE/WALHI Aceh/IX/2022, tanggal 5 September 2022.
Pihaknya mendesak Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh untuk segera melakukan eksekusi putusan Mahkamah Agung No. 270 K/TUN/LH/2020. Kemudian, mendesak Gubernur Aceh untuk mencabut Pemberian Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) Dalam Rangka Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Tampur-I (443 MW) Seluas ± 4.407 Ha Atas Nama PT. KAMIRZU di Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Tamiang, dan Kabupaten Aceh Timur Provinsi Aceh tanggal 09 Juni 2017. Sebagaimana isi putusan kasasi Mahkamah Agung No. 270 K/TUN/LH/2020.
“Mendesak Gubernur Aceh untuk tidak memanfaatkan area eks IPPKH PLTA Tampur 1 untuk kegiatan serpa atau kegiatan lain yang dapat mengganggu/merubah fungsi ekosistem,” katanya.
Pihaknya juga mendesak Gubernur Aceh untuk menerbitkan kebijakan sesuai peraturan perundang-undangan sebagai upaya perlindungan dan pelestarian areal eks IPPKH PLTA Tampur 1 di Kabupaten Gayo Lues.
“Kita juga mendesak Presiden Republik Indonesia, c/q Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk tidak menerbitkan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) pada areal eks IPPKH PLTA Tampur 1 untuk kegiatan serupa atau kegiatan lain yang dapat mengganggu/merubah fungsi ekosistem,” katanya.
Leave a Comment