Melihat Pesta Parung-parung di Tapanuli Utara, Potret Parpatikan dan Harapan Petani Kemenyan
TAPANULI UTARA, GJI.or.id – Suasana hiruk pikuk terasa di Dusun Sibio-bio, Desa Simardangiang, Kecamatan Pahae Julu, Tapanuli Utara pada Selasa (29/11/2022) pagi. Sejumlah kaum ibu tampak menabur gula merah dan sejumput garam ke gundukan tepung beras di atas plastik lebar di dalam rumah salah satu warga. Semuanya berbicara dengan bahasa Batak. Sesekali berbahasa Indonesia.
Mereka terbagi dalam dua kelompok yang tugasnya berlainan. Satu kelompok menyisir gula merah dengan pisau sehingga menjadi butiran halus. Kelompok lainnya mengaduk gundukan tepung beras dengan tangannya. Sehingga tepung yang yang tadinya putih berubah kecoklatan. Tepung beras itu dibuat dari beras yang sudah direndam selama satu jam kemudian digiling.
Semakin banyak gula merah yang tercampur, warnanya berubah semakin kecoklatan. Jerih payah membuat adonan sejak pukul 06.00 WIB, selesai dalam waktu 2,5 jam. Adonan itu lalu dibagi-bagi ke dalam tempat khusus makanan. Ada juga yang ditempatkan di piring dengan ukuran sebesar kepalan tangan. Adonan itu namanya itak gurgur, makanan khas Batak yang dibuat tanpa dimasak. Rasanya gurih dan manis.
Tak jauh dari situ, sejumlah kaum pria berkerumun di bawah tenda. Mereka mencincang daging kerbau di atas terpal biru. Kerbau itu disembelih pada malam harinya. Asap mengepul dari pembakaran kayu. Di atasnya tong besar. Mereka memasak nasi. Suasananya tak kalah riuh. Bumbu masakah sudah tersedia, masakah lezat siap disajikan untuk
makan bersama warga desa.
Ya, hari ini adalah harinya. Pesta Parung-parung menjadi momentum berkumpulnya warga desa dengan pemimpinnya. Acara ini juga dihadiri perwakilan dari warga desa lainnya. Bupati Tapanuli Utara, Nikson Nababan bahkan sudah tiba di desa ini sejak Senin (28/11/2022) dan bermalam di rumah warga. Tepat pukul 12.00 WIB, acaranya pun digelar setelah sebelumnya didahului dengan kebaktian di halaman gereja.
Bupati Nikson Nababan duduk didampingi Direktur Eksekutif Green Justice Indonesia, Dana Prima Tarigan dan Ketua Badan Pengurus Harian AMAN Tano Batak, Roganda Simanjuntak dan sejumlah pejabat kabupaten lainnya. Kepala Desa Simardangiang, Tampan Sitompul menjadi tuan rumah menjelaskan secara rinci Parung-parung di desanya dengan bahasa Batak.
Dikatakannya, Parung-parung adalah tradisi untuk memberangkatkan suami/laki-laki yang akan mengambil getah kemenyan. Saat itu juga itak gurgur diberikan sebagai kejutan sang istri kepada suaminya yang akan berangkat sekaligus doa agar hasil panennya melimpah. Dalam pesta parung-parung itu ada hukum adat bernama Parpatikan, yakni sistem yang terkordinir oleh kelompok petani kemenyan dan dipilih karena kemampuan dan ketokohannya.
Hukum adat itu selama ini dijalankan secara lisan. Parpatikan ini lah yang bertugas mengawasi batas hutan, mencatat siapa saja petani kemenyan yang berangkat ke hutan/ladang, mencatat alat apa saja yang dibawa, berapa hari kerjanya, mencatat hasil panen dengan menimbang kemudian membantu pemasarannya kepada toke atau pembeli.
Menurut Tampan, sistem parpatikan ini dapat mengantisipasi pencurian kemenyan karena sejak awal sudah diketahui siapa dengan alat apa selama waktu tertentu mendapatkan hasil panen sekian.
“Jika ada yang kedapatan mencuri kemenyan, akan ada sanksi didenda membayar 5 kali lipat kepada petani yang dirugikan, dan juga diganjar menjumpai semua rumah penduduk sekitar sambil memegang garam dan mengucapkan kata ‘saya mencuri Kemenyan’,” katanya.
Menurut Tampan, sanksi dan denda itu dapat memberi efek jera kepada pelaku pelanggaran. Usai penjelasan dari Tampan, tokoh masyarakat yang menjadi patik menjelaskan proses memasarkan kemenyan dari warga. Mereka akan mengundang pembeli datang. Dijelaskannya, 2 % dari hasil penjualan kemenyan diberikan kepada pengurus Parpatikan.
Petani kemenyan, Luas Partaulian Tambunan, mengaku dia setiap hari ke hutan untuk mengambil kemenyan. Berbeda dari petani lain, dia selalu membawa pulang getah kemenyan berikut dengan kulit kayunya karena masih laku untuk dijual. Dalam seminggu, dia bisa mengumpulkan kemenyan sebanyak 25 kg. Nantinya, dipisahkan berdasarkan kategori. “Orang lain, kulitnya dibuang. Kalau sama saya, tetap bawa pulang karena masih laku,” katanya.
Luas mengatakan, praktik parpatikan ini tak bedanya dengan mendata in and out dengan tujuan salah satunya mengetahui hasil tiap petani. “Saya berharap (parpatikan) tetap berlangsung kalo bersifat positif. Harga kemenyan sekarang ini Rp 280.000. Sebenarnya adil sih. Bahan baku mana yang harganya segitu. Kita berharap, kalo bisa ini ada produksi turunan, ada pabrik yang dibilang, setidaknya setenga jadi. Kalo ada pabrik kan harganya jadi lebih naik,” katanya.
Leave a Comment
You must be logged in to post a comment.