Bedah Buku Tombak Na Marpatik, Melihat Relasi Masyarakat Adat dan Hutan Tapanuli
TAPANULI UTARA, GJI.or.id – Masyarakat adat tidak bisa dipisahkan dari hutannya. Relasi sosial, ekonomi dan budaya keduanya sangat kuat. Kearifan lokal dalam menjaga hutannya masih hidup hingga sekarang. Namun, hal tersebut bukannya tanpa tantangan. Dibutuhkan dukungan gerakan dan jaringan untuk melindungi hutan dari kerusakan.
Komisioner Komnas HAM, Saurlin Siagian beberapa waktu lalu menyampaikannya kepada awak media ketika bedah Buku Tombak Na Marpatik, Adat dan Hutan di Tapanuli di Sopo Partungkoan, Tarutung, Tapanuli Utara (Taput) oleh Green Justice Indonesia (GJI), Senin (28/11/2022).
Buku itu ditulisnya saat masih sebagai peneliti bersama penulis lainnya Hamid Arrum Harahap dan Pahri Nasution. Penulisan buku ini memakan waktu selama 3 bulan riset di Desa Simardangiang dan Desa Pantis, Kecamatan Pahae Julu dan Dusun Hopong, Desa Dolok Sanggul, Kecamatan Simangumban, Tapanuli Utara.
Saurlin Siagian menulis buku ini bersama penulis lainnya selama tiga bulan riset di 3 bulan riset di Desa Simardangiang dan Desa Pantis, Kecamatan Pahae Julu dan Dusun Hopong, Desa Dolok Sanggul, Kecamatan Simangumban, Tapanuli Utara.
Dikatakan Saurlin, buku itu mencatat bahwa pengaturan terkait hutan di Tanah Batak itu sangat kaya. “Kita punya sumber pengetahuan kalau ingin mengetahui pengelolaan atau dan penguasaan di Tapanuli. kita punya sumber yang sangat bagus,” katanya.
Sumber pengetahuan itu baik yang bersifat catatan atau pengetahuan yang hidup di tengah masyarakat. Sehingga, tidak ada alasan untuk bingung dengan tata batas. “Itu jelas semua ada. Yang penting adalah kerelaan mendengarkan tradisi lisan masyarakat. Banyak catatan yang sangat otentik terkait pengelolaan hutan di Tapanuli,” katanya.
Praktik pengetahuan itu hidup sejak pra kolonial hingga saat ini. Di Desa Simardangiang, ada organisasi tua yakni parpatikan. Masyarakat yang akan berangkat ke hutan untuk mengambil getah kemenyan harus melapor ke pada mereka.
Hal-hal yang dilaporkan itu mulai dari siapa yang berangkat, alat apa saja yang dibawa, berapa hari di dalam hutan, dan nantinya ketika pulang tetap harus melaporkan hasil yang didapat. Dengan begitu, dapat diketahui siapa memiliki berapa banyak kemenyan.
Menurutnya, negara perlu mengangkat, mengakui dan menerima itu sebagai kearifan lokal. Faktanya, banyak wilayah adat yang ternyata berstatus hutan lindung.
“Kalo bisa kita sampaikan, pura-pura gak lihat aja lah. Ya udah lah, kalian ambil aja lah kemenyannya. kalau mau jujur, mereka tutup mata. Karena kalau sempat ditegakkan aturan itu, terusir mereka dari hutan. Karena 100 meter dari kantor kades (ada) patok hutan lindung. Jadi statusnya 90 persen hutan lindung. Jadi memang praktiknya pemerintah membiarkan, tapi kalau suatu saat pemerintah menegakkan aturan itu, itu bom waktu. Itu lah yang kami tulis,” katanya.
Dalam kesempatan tersebut Bupati Tapanuli Utara, Nikson Nababan mengatakan, dia pernah berkunjung ke Jepang untuk melihat bagaimana hasil pertanian dipasarkan. Namun dia justru dibuat takjub bahwa praktik serupa dilakukan di Simardangiang.
Kemenyan atau yang dikenal di masyarakat Batak sebagai haminjon, merupakan tanaman endemik dengan potensi yang luar biasa namun cara pengerjaannya tidak mudah. Jika harga jual kemenyan menguntungkan, dia yakin masyarakat tidak akan menebang pohonnya.
“Intinya apa yang ada di tanah ini semuanya harus dikelola dengan sebaik-baiknya. Kalau dibiarkan hutan gak dikelola, jadi kapan rakyat bisa sejahtera. Dua tahun lalu Perda sudah kita buat tentang tanah adat. 2021 lalu sudah kita keluarkan tiga SK untuk hutan adatnya. Sedangkan tujuh lain masih dalam proses karena sedikit persoalan sesama warga,” ujarnya.
Solusinya adalah membuat ruang mediasi sehingga dapat memberikan pemahaman karena semua warga di Tapanuli Utara ini adalah saudara.
Direktur Eksekutif GJI, Dana Prima Tarigan mengatakan, buku ini menjadi bukti bahwa masyarakat adat yang tinggal di sekitar hutan telah berhasil melindungi hutannya secara turun temurun tapi sayangnya mereka sering dijadikan alasan penghambat investasi dan masalah lainnya.
“Mereka berhasil menjaga hutannya secara turun temurun karena mereka hidup dari hutan itu dan memiliki relasi sangat baik dengan hutan,” katanya.
Buku ini, lanjut Dana, merupakan hasil dari pendampingan yang panjang oleh GJI di Desa Simardangiang, Desa Pantis dan Dusun Hopong, mulai dari pemetaan permasalahan yang sering muncul, riset soal ekonomi, dan mendorong eksistensi dan pengetahuan empiris masyarakat adat.
“Banyak sekali pengetahuan empiris serta kearifan lokal masyarakat adat, khususnya di Tapanuli dan Tapanuli Utara untuk melindungi hutan dan wilayah kelolanya. Mereka memiliki relasi spiritual dengan hutannya,” katanya.
Kearifan lokal masyarakat adat selama ini telah terbukti bisa melestarikan hutannya dan melindunginya dari kerusakan yang disebabkan masyarakat itu sendiri, atau klaim negara terhadap hutan yang sembarangan memasukkan investasi ke dalamnya.
“Sampai sekarang kearifan lokalnya mampu melindungi sumber-sumber kehidupannya. Ini yang penting untuk dimunculkan ke publik. Dan kita berharap pola relasi dan aturan adat ini bisa diadopsi pemerintah dalam hal investasi yang akan masuk ke depannya,” ujarnya.
Dia berharap kebijakan yang dikeluarkan oleh stakeholder juga berbasis pengetahuan empiris yang telah turun temurun dan terbukti dapat menjaga hutan dan sumber daya alamnya dari kerakusan, pencurian dan juga kerusakan.
Dana menilai, wilayah kelola masyarakat adat masih dalam ancaman besar seperti regulasi pemerintah dalam mengatur kehutanan, investasi dan praktik ilegal di luar masyarakat adat. Menurutnya, dibutuhkan gerakan atau jaringan lebih besar untuk berperanserta melindungi apa yang selama ini sudah mereka lindungi.
Pihaknya terus mendorong pemerintah memfasilitasi produk-produk hasil hutan bukan kayu, khususnya kemenyan yang saat ini harganya fluktuatif.
Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, Roganda Simanjuntak menambahkan, Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara sudah menunjukkan komitmennya terhadap masyarakat adat khususnya di sekitar kawasan Danau Toba dengan terbitnya Perda No. 2/2021 tentang Pengakuan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Tapanuli Utara kemudian ditindaklanjui dengan terbitnya SK Bupati Penetapan Wilayah Adat.
Ada tiga komunitas adat yang telah selesai diverifikasi oleh Tim Verifikasi Masyarakat Hukum Adat KLHK yakni komunitas adat tersebut adalah Komunitas Adat Huta Ginjang, Onan Harbangan, dan Aek Godang.
“Tentu kita harapkan akan bertambah terus. Tidak hanya berhenti di 3 komunitas adat yang saya sebutkan seiring dengan faktanya bahwa komunitas masyarakat adat di Taput itu sangat tersebar di semua kecamatan,” katanya.
Pihaknya berharap agar keberadaan masyarakat adat diakui mengingat saat ini banyak investasi yang ekspolitatif di bidang sumber daya alam banyak hadir dan menjadi tantangan ke depan.
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Bidang Biomassa dan Bioproduk, Aswandi mengatakan, dari segi riset kandungan apa dari dalam kemenyan sumatera (Styrax benzoin) sudah diketahui. Pihaknya juga sudah mempunya prototype dalam bentuk minyak, parfum, skin care dan lain sebagainya. “Cuma, yang mendeliver ke masyarakat itu perlu waktu,” katanya.
Oleh karena itu, pihaknya sudah mencoba menjalin kerjasama dengan berbagai pihak lain seperti pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat, UMKM, dan lainnya sehingga pengetahuan mengolah kemenyan bisa sampai ke masyarakat. Misalnya dengan memunculkan kreatifitas anak muda membuat minyak dan parfum dari kemenyan.
“Rahasia (kemenyan menjadi minyak parfum) itu masih dijaga oleh produsen parfum seperti di Paris, Eropa. Mereka tahu bikin parfum itu terbaik dari kemenyan,” katanya.
Hanya saja, bahwa Indonesia atau Sumatera Utara sebagai produsen kemenyan terbesar, sampai saat ini kemenyan masih diekspor dalam bentuk mentah. BRIN, kata dia, mendiseminasikan ke masyarakat bagaimana membuat minyak atsirinya, membuat formulasi parfum, skin care yang baik dan lainnya.
“Itu tugas kita memberi pengetahuan ke masyarakat bahwa kemnyan itu tidak hanya bentuk bongkahan, apalagi dikooptasi dengan dibakar,” katanya.
Aswandi menjelaskan, jika dilihat dari petani, pengumpul dan pedagang besar hingga eksportir juga tidak kuasa untuk sampai ke industrinya. Sehingga harga fluktuatif. Padahal sesungguhnya di pasar internasional relatif sama, bahkan meningkat. Rantai panjang itu karena ketidaktahuan, tertutupnya informasi,
“Ujungnya kita tak tahu kemenyan itu untuk apa, selama ini orang tahunya dibakar aja, tapi tak mungkin 5 ton dibakar. Ilmu pengetahuan sudah membukanya, kemenyan untuk anti depresan, kosmetik, anti flek, jerawat, itu sangat berharga. aroma terapi,” katanya.
Leave a Comment